MASIGNCLEAN101

Saat Notaris Gagal Menjaga Ruh Akta Otentik (Ketika Formalitas Memicu Skandal)

Saat Notaris Gagal Menjaga Ruh Akta Otentik (Ketika Formalitas Memicu Skandal)
Friday, August 8, 2025

 


Di atas kertas, notaris adalah salah satu pilar kepastian hukum di Indonesia. Dengan kewenangan yang diberikan negara, ia memastikan bahwa akta yang dibuat benar-benar mencerminkan kehendak para pihak, dibuat sesuai hukum, dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda: tugas yang sudah relatif ringan itupun masih sering dilanggar. Lebih parah lagi, pelanggaran ini melahirkan fenomena berbahaya yang dikenal sebagai “akta berjalan”, yang membuka pintu lebar-lebar bagi kasus mafia tanah dan menggerus kepercayaan publik.

 

1. Tugas Notaris: Dari Ideal ke Kenyataan

Dalam sistem hukum civil law, notaris seharusnya berperan aktif sejak awal: memahami kehendak para pihak, merumuskan klausul perjanjian, memberi nasihat hukum, hingga memastikan semua pihak mengerti isi akta. Proses ini bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut perlindungan hukum substantif bagi para pihak.

Namun, jika kita membaca Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) secara teliti, peran tersebut tidak sepenuhnya diwajibkan. UUJN memang mengatur kewajiban membacakan akta di hadapan para pihak dan saksi, memeriksa identitas, serta memastikan dokumen lengkap. Tapi tidak ada norma eksplisit yang memaksa notaris ikut menyusun atau mengoreksi substansi perjanjian. Akibatnya, praktik di lapangan sering kali berhenti di tahap formalisasi belaka.

 

2. Reduksi Peran: Notaris Sebagai “Mesin Formalitas”

Reduksi ini membuat notaris di Indonesia semakin mirip dengan notary public di negara common law, yang tugasnya hanya memverifikasi tanda tangan atau mengesahkan dokumen tanpa ikut campur bagian isi-nya. Bedanya, notaris kita tetap memegang kewenangan besar: akta yang dibuatnya langsung berstatus akta otentik dengan kekuatan pembuktian sempurna.

Ironisnya, peran yang sudah terbatas pada formalitas ini justru dianggap cukup oleh banyak praktisi. Selama akta sudah memiliki format yang benar, nomor register, tanda tangan, dan cap, maka dianggap sah. Nilai substantif (apakah isi akta benar-benar melindungi pihak yang lemah atau tidak) sering kali diabaikan.

 

3. Pelanggaran yang Masih Terjadi

Masalahnya tidak berhenti di situ. Tugas yang hanya bersifat formalitas itupun masih sering dilanggar. Pelanggaran ini beragam bentuknya:

  • Pembacaan akta yang hanya simbolis, sekadar membaca paragraf pembuka dan penutup tanpa memastikan para pihak memahami isi.
  • Kehadiran saksi yang tidak sesuai prosedur, misalnya saksi datang hanya untuk tanda tangan tanpa menyaksikan langsung peresmian akta.
  • Penandatanganan tidak bersamaan, yang seharusnya dilakukan di satu waktu dan tempat di hadapan notaris.
  • Pemeriksaan dokumen seadanya, tanpa verifikasi mendalam atas keaslian atau kesesuaian dokumen.

Praktik-praktik ini bukan sekadar kesalahan teknis; ia meruntuhkan esensi dari akta otentik itu sendiri.

 

4. Lahirnya Fenomena “Akta Berjalan”

Dari pelanggaran-pelanggaran itu lahirlah istilah akta berjalan. Ini merujuk pada akta yang proses peresmiannya tidak dilakukan sesuai ketentuan, tetapi tetap “dipakai” seolah sah. Dalam banyak kasus, minuta akta bahkan diisi atau ditandatangani setelah transaksi berjalan, hanya untuk melengkapi syarat administratif.

Fenomena ini sangat berbahaya. Akta berjalan menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berniat jahat, karena dokumen otentik yang seharusnya menjadi pelindung hukum justru menjadi alat kejahatan.

 

5. Kasus Mafia Tanah – Sebuah Pelajaran Pahit

Salah satu kasus yang ramai diberitakan adalah mafia tanah yang menimpa artis Nirina Zubir. Dalam perkara tersebut, sejumlah akta peralihan hak tanah dibuat tanpa prosedur peresmian yang benar. Akta-akta tersebut menjadi pintu masuk bagi sindikat untuk menguasai aset secara ilegal.

Kasus ini mengungkap dua hal:
Pertama, bahwa pelanggaran prosedur notaris bukan hal kecil—ia bisa merugikan korban hingga miliaran rupiah. Kedua, bahwa lemahnya pengawasan terhadap notaris membuka peluang bagi akta berjalan untuk digunakan dalam skema kriminal.

 

6. Dampak - Hilangnya Kepercayaan Publik

Ketika publik mendengar bahwa akta otentik (yang seharusnya menjadi bukti terkuat di mata hukum) bisa dibuat tanpa prosedur yang benar, kepercayaan akan runtuh. Orang mulai ragu, apakah tanda tangan notaris benar-benar menjamin keamanan transaksi mereka, atau hanya sekadar formalitas mahal.

Hilangnya kepercayaan publik ini adalah ancaman serius. Profesi notaris dibangun atas dasar integritas dan kepercayaan. Tanpa itu, akta otentik tidak lagi punya nilai lebih dibandingkan perjanjian di bawah tangan.

 

7. Saatnya Reformasi dan Pengawasan Ketat

Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki dua hal besar:

  1. Revisi UUJN
    Norma kewajiban substantif harus diperjelas. Notaris tidak cukup hanya memeriksa formalitas, tetapi juga harus memastikan substansi perjanjian adil dan dipahami para pihak.
  2. Pengawasan yang Lebih Efektif
    Sistem random audit terhadap minuta akta dan kewajiban pelaporan yang transparan dapat menekan praktik akta berjalan.
  3. Sanksi yang Tegas
    Pelanggaran prosedural harus diberikan sanksi progresif—mulai dari teguran, denda administratif, hingga pemberhentian—untuk menjaga integritas profesi.

 

Penutup

Peran notaris adalah menjaga ruh dari akta otentik (bukan hanya memberi cap dan tanda tangan). Ketika tugas yang sudah direduksi menjadi formalitas pun masih dilanggar, dan lahir praktik seperti akta berjalan, kita tidak hanya berbicara tentang kesalahan prosedur, tapi juga tentang erosi kepercayaan publik.

Jika kepercayaan ini hilang, maka akta otentik hanyalah selembar kertas mahal tanpa makna hukum yang sejati. Reformasi bukan lagi pilihan; ia adalah keharusan mendesak.

 

Kalau Anda setuju bahwa notaris harus kembali memegang peran substantifnya, bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang memahami betapa pentingnya menjaga integritas akta otentik.

 

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia