
Di atas kertas, notaris adalah salah satu pilar kepastian hukum di Indonesia. Dengan kewenangan yang diberikan negara, ia memastikan bahwa akta yang dibuat benar-benar mencerminkan kehendak para pihak, dibuat sesuai hukum, dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda: tugas yang sudah relatif ringan itupun masih sering dilanggar. Lebih parah lagi, pelanggaran ini melahirkan fenomena berbahaya yang dikenal sebagai “akta berjalan”, yang membuka pintu lebar-lebar bagi kasus mafia tanah dan menggerus kepercayaan publik.
1. Tugas Notaris: Dari Ideal ke Kenyataan
Dalam sistem hukum civil
law, notaris seharusnya berperan aktif sejak awal: memahami kehendak para
pihak, merumuskan klausul perjanjian, memberi nasihat hukum, hingga memastikan
semua pihak mengerti isi akta. Proses ini bukan sekadar teknis, tetapi
menyangkut perlindungan hukum substantif bagi para pihak.
Namun, jika kita
membaca Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) secara teliti, peran tersebut
tidak sepenuhnya diwajibkan. UUJN memang mengatur kewajiban membacakan
akta di hadapan para pihak dan saksi, memeriksa identitas, serta memastikan
dokumen lengkap. Tapi tidak ada norma eksplisit yang memaksa notaris ikut
menyusun atau mengoreksi substansi perjanjian. Akibatnya, praktik di lapangan
sering kali berhenti di tahap formalisasi belaka.
2. Reduksi Peran: Notaris Sebagai “Mesin Formalitas”
Reduksi ini membuat
notaris di Indonesia semakin mirip dengan notary public di negara common
law, yang tugasnya hanya memverifikasi tanda tangan atau mengesahkan
dokumen tanpa ikut campur bagian isi-nya. Bedanya, notaris kita tetap memegang
kewenangan besar: akta yang dibuatnya langsung berstatus akta otentik
dengan kekuatan pembuktian sempurna.
Ironisnya, peran yang
sudah terbatas pada formalitas ini justru dianggap cukup oleh banyak praktisi.
Selama akta sudah memiliki format yang benar, nomor register, tanda tangan, dan
cap, maka dianggap sah. Nilai substantif (apakah isi akta benar-benar
melindungi pihak yang lemah atau tidak) sering kali diabaikan.
3. Pelanggaran yang Masih Terjadi
Masalahnya tidak
berhenti di situ. Tugas yang hanya bersifat formalitas itupun masih sering
dilanggar. Pelanggaran ini beragam bentuknya:
- Pembacaan akta yang hanya simbolis, sekadar membaca paragraf pembuka dan
penutup tanpa memastikan para pihak memahami isi.
- Kehadiran saksi yang tidak sesuai
prosedur, misalnya saksi
datang hanya untuk tanda tangan tanpa menyaksikan langsung peresmian akta.
- Penandatanganan tidak bersamaan, yang seharusnya dilakukan di satu
waktu dan tempat di hadapan notaris.
- Pemeriksaan dokumen seadanya, tanpa verifikasi mendalam atas
keaslian atau kesesuaian dokumen.
Praktik-praktik ini
bukan sekadar kesalahan teknis; ia meruntuhkan esensi dari akta otentik itu
sendiri.
4. Lahirnya Fenomena “Akta Berjalan”
Dari
pelanggaran-pelanggaran itu lahirlah istilah akta berjalan. Ini merujuk
pada akta yang proses peresmiannya tidak dilakukan sesuai ketentuan, tetapi
tetap “dipakai” seolah sah. Dalam banyak kasus, minuta akta bahkan diisi atau
ditandatangani setelah transaksi berjalan, hanya untuk melengkapi syarat
administratif.
Fenomena ini sangat
berbahaya. Akta berjalan menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan
pihak-pihak yang berniat jahat, karena dokumen otentik yang seharusnya menjadi
pelindung hukum justru menjadi alat kejahatan.
5. Kasus Mafia Tanah – Sebuah Pelajaran Pahit
Salah satu kasus yang
ramai diberitakan adalah mafia tanah yang menimpa artis Nirina Zubir. Dalam
perkara tersebut, sejumlah akta peralihan hak tanah dibuat tanpa prosedur
peresmian yang benar. Akta-akta tersebut menjadi pintu masuk bagi sindikat
untuk menguasai aset secara ilegal.
Kasus ini mengungkap
dua hal:
Pertama, bahwa pelanggaran prosedur notaris bukan hal kecil—ia bisa merugikan
korban hingga miliaran rupiah. Kedua, bahwa lemahnya pengawasan terhadap
notaris membuka peluang bagi akta berjalan untuk digunakan dalam skema
kriminal.
6. Dampak - Hilangnya Kepercayaan Publik
Ketika publik
mendengar bahwa akta otentik (yang seharusnya menjadi bukti terkuat di mata
hukum) bisa dibuat tanpa prosedur yang benar, kepercayaan akan runtuh. Orang
mulai ragu, apakah tanda tangan notaris benar-benar menjamin keamanan transaksi
mereka, atau hanya sekadar formalitas mahal.
Hilangnya kepercayaan
publik ini adalah ancaman serius. Profesi notaris dibangun atas dasar
integritas dan kepercayaan. Tanpa itu, akta otentik tidak lagi punya nilai
lebih dibandingkan perjanjian di bawah tangan.
7. Saatnya Reformasi dan Pengawasan Ketat
Kasus-kasus seperti
ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki dua hal besar:
- Revisi UUJN
Norma kewajiban substantif harus diperjelas. Notaris tidak cukup hanya memeriksa formalitas, tetapi juga harus memastikan substansi perjanjian adil dan dipahami para pihak. - Pengawasan yang Lebih Efektif
Sistem random audit terhadap minuta akta dan kewajiban pelaporan yang transparan dapat menekan praktik akta berjalan. - Sanksi yang Tegas
Pelanggaran prosedural harus diberikan sanksi progresif—mulai dari teguran, denda administratif, hingga pemberhentian—untuk menjaga integritas profesi.
Penutup
Peran notaris adalah
menjaga ruh dari akta otentik (bukan hanya memberi cap dan tanda tangan).
Ketika tugas yang sudah direduksi menjadi formalitas pun masih dilanggar, dan
lahir praktik seperti akta berjalan, kita tidak hanya berbicara tentang
kesalahan prosedur, tapi juga tentang erosi kepercayaan publik.
Jika kepercayaan ini
hilang, maka akta otentik hanyalah selembar kertas mahal tanpa makna hukum yang
sejati. Reformasi bukan lagi pilihan; ia adalah keharusan mendesak.
Kalau Anda setuju
bahwa notaris harus kembali memegang peran substantifnya, bagikan tulisan ini
agar lebih banyak orang memahami betapa pentingnya menjaga integritas akta
otentik.
comment 0 Comment
more_vert