MASIGNCLEAN101

Peran Notaris dalam Jaminan Kripto: Antara Kebutuhan Mendesak dan Kekosongan Regulasi - Seri 5 Penutup

Peran Notaris dalam Jaminan Kripto: Antara Kebutuhan Mendesak dan Kekosongan Regulasi - Seri 5 Penutup
Tuesday, August 5, 2025

 


 Pendahuluan

Revolusi digital dalam sektor keuangan telah menciptakan dinamika baru dalam dunia kontraktual. Salah satu fenomena yang tengah mengemuka adalah penggunaan aset kripto sebagai jaminan dalam hubungan utang-piutang, baik antar individu maupun antara pelaku usaha dan lembaga keuangan. Di tengah transformasi ini, terdapat kekosongan regulasi yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan hukum secara komprehensif. Padahal, kebutuhan akan kepastian hukum bagi para pihak yang bertransaksi menggunakan kripto semakin mendesak, terutama saat nilai tukar kripto menjadi bagian dari struktur agunan.

Di sinilah letak urgensinya: peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik sangat penting untuk mendokumentasikan kesepakatan hukum yang sah dan mengikat antara para pihak. Meski belum ada norma khusus tentang kripto sebagai objek jaminan, Pasal 1320 KUH Perdata membuka ruang dengan asas kebebasan berkontrak, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Maka pertanyaannya: bagaimana notaris seharusnya bertindak ketika diminta membuat perjanjian jaminan kripto?

 

1. Urgensi Akta Otentik di Tengah Kekosongan Regulasi

Pasal 1868 KUH Perdata mendefinisikan akta otentik sebagai akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam konteks ini, notaris memegang peran vital dalam menjamin otentisitas suatu perjanjian. Perjanjian utang-piutang dengan kripto sebagai jaminan bukanlah perjanjian yang dilarang, selama tidak bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.

Menurut asas konsensualisme dalam hukum perjanjian, suatu kontrak dianggap sah apabila telah memenuhi empat syarat Pasal 1320 KUH Perdata:

  1. Kesepakatan para pihak;
  2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Ketika pihak debitur dan kreditur menyepakati bahwa kripto dijadikan jaminan, maka unsur hal tertentu telah terpenuhi. Selama tidak ada larangan eksplisit, notaris dapat memfasilitasi terbentuknya perjanjian ini secara otentik. Akta otentik dalam hal ini akan menjadi bukti paling kuat apabila terjadi sengketa.

 

2. Identifikasi Lembaga Jaminan Paling Relevan: Fidusia atau Gadai?

Dalam praktik hukum Indonesia, terdapat dua skema utama jaminan atas benda bergerak: gadai dan fidusia. Keduanya memiliki dasar hukum dan karakteristik yang berbeda. Pertanyaannya adalah: skema mana yang paling cocok untuk digunakan dalam menjamin aset kripto?

Gadai (KUHPer Pasal 1150 dst.)

Gadai mensyaratkan penyerahan fisik benda kepada kreditur. Pasal 1150 KUHPerdata menyebut bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas nama debitur.

Permasalahannya: kripto tidak memiliki bentuk fisik. Sifatnya digital, tersimpan dalam dompet kripto (wallet) yang dikontrol oleh kunci privat. Penyerahan kepemilikan tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui pengalihan kendali atas wallet. Dalam konteks hukum perdata, penyerahan immateriil seperti ini belum sepenuhnya terakomodasi dalam pengertian "penyerahan" menurut KUHPer.

Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999)

Fidusia memberikan fleksibilitas lebih besar. Undang-undang ini mengakui jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud, dengan pemindahtanganan kepemilikan secara fidusia, tanpa harus menyerahkan barangnya secara fisik.

Pasal 1 angka 1 UU Fidusia menyebutkan:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Dalam konteks kripto, pemilik tetap dapat menguasai asetnya selama belum wanprestasi. Maka, pendekatan fidusia jauh lebih mendekati prinsip penguasaan aset digital seperti kripto.

Namun demikian, terdapat celah hukum: apakah kripto sudah bisa dikategorikan sebagai "benda bergerak tidak berwujud" dalam pengertian UU Fidusia? Belum ada putusan pengadilan atau peraturan pelaksana yang memberikan jawaban eksplisit. Meski demikian, berdasarkan sifatnya yang dapat dimiliki, memiliki nilai ekonomis, dapat diperdagangkan, dan dapat dialihkan, kripto secara fungsional dapat diargumentasikan sebagai objek yang memenuhi syarat jaminan fidusia.

 

3. Praktik Awal dan Tanggung Jawab Notaris

Dalam kondisi kekosongan regulasi, notaris perlu bersikap hati-hati namun tetap progresif. Permintaan dari klien untuk membuat perjanjian jaminan kripto menuntut notaris untuk melakukan observasi menyeluruh, baik terhadap objek jaminan maupun struktur hukumnya.

Beberapa langkah kehati-hatian yang dapat diterapkan notaris:

  1. Verifikasi kepemilikan kripto: memastikan bahwa pihak yang menjaminkan benar-benar memiliki akses ke wallet dan kunci privatnya.
  2. Identifikasi media penyimpanan: kripto disimpan di exchange atau private wallet? Jika di exchange, dapatkah dikunci melalui smart contract atau sistem escrow?
  3. Klausul pengalihan kendali: dalam hal terjadi wanprestasi, bagaimana kripto akan dialihkan atau dijual untuk pelunasan utang?
  4. Pengamanan eksekusi: apakah exchange lokal memiliki mekanisme teknis untuk menahan atau melepas aset atas permintaan notaris/kreditur?

Notaris harus menyusun struktur klausul yang menjamin pengalihan hak dan tanggung jawab secara transparan serta dapat dilaksanakan. Tanpa ini, akta berisiko tidak dapat dieksekusi, bahkan batal demi hukum.

4. Menuju Inovasi Lembaga Jaminan Digital

Dalam jangka panjang, sistem hukum Indonesia memerlukan reformasi struktural untuk mengakomodasi jaminan atas aset digital seperti kripto. Inovasi hukum harus dilandasi pada pengakuan normatif bahwa kripto merupakan objek hukum yang sah untuk dijadikan agunan.

Beberapa arah kebijakan yang dapat dipertimbangkan:

  • Revisi UU Fidusia agar mencantumkan secara eksplisit bahwa aset digital (termasuk kripto) adalah objek jaminan.
  • Penyusunan UU Jaminan Digital yang memuat struktur baru jaminan atas aset non-fisik.
  • Penerbitan Peraturan OJK/Bappebti terkait mekanisme teknis pelaksanaan jaminan kripto dan eksekusinya.
  • Kolaborasi dengan exchange untuk membuat sistem escrow atau smart custody yang memungkinkan pemblokiran aset secara legal melalui integrasi teknis dan hukum.

Di negara-negara seperti Singapura dan Amerika Serikat, praktik jaminan kripto telah menjadi bagian dari sistem keuangan alternatif. Bahkan beberapa startup fintech menyediakan layanan pinjaman dengan kripto sebagai jaminan (crypto-backed loans), yang teregulasi secara ketat.

Notaris di Indonesia perlu menyuarakan kebutuhan akan legalisasi skema serupa secara formal, dengan mengedepankan prinsip perlindungan hukum bagi kreditur dan debitur sekaligus.

Penutup dan Rekomendasi

Meskipun regulasi jaminan kripto belum tersedia secara eksplisit, kebutuhan hukum di masyarakat telah lebih dahulu hadir. Notaris sebagai penjaga legalitas hubungan perdata memiliki peran penting untuk menjembatani kekosongan ini dengan landasan prinsip kehati-hatian dan argumentasi hukum yang solid.

Kekuatan Pasal 1320 KUHPerdata memberi ruang bahwa perjanjian yang sah tetap berlaku walau objeknya belum diatur khusus. Dengan demikian, kripto dapat dijadikan objek jaminan sejauh:

·         Kepemilikannya sah;

·         Disepakati para pihak;

·         Tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Perlu ditekankan bahwa fidusia menjadi pendekatan yang paling mungkin diterapkan, meskipun belum sepenuhnya terakomodasi secara normatif. Peran notaris bukan sekadar pembuat akta, tetapi juga penasehat hukum privat yang mampu menavigasi celah hukum dengan tetap menjaga integritas hukum nasional.

Negara, melalui OJK atau pembentuk undang-undang, hendaknya segera merumuskan bentuk perlindungan hukum bagi kripto sebagai jaminan hutang. Namun sebelum hal itu terwujud, notaris dapat mengambil posisi sebagai pengawal transisi—mengisi kekosongan dengan norma-norma kontraktual yang kuat dan akuntabel.

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia