
Revolusi digital dalam
sektor keuangan telah menciptakan dinamika baru dalam dunia kontraktual. Salah
satu fenomena yang tengah mengemuka adalah penggunaan aset kripto sebagai
jaminan dalam hubungan utang-piutang, baik antar individu maupun antara pelaku
usaha dan lembaga keuangan. Di tengah transformasi ini, terdapat kekosongan
regulasi yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan hukum secara komprehensif.
Padahal, kebutuhan akan kepastian hukum bagi para pihak yang bertransaksi
menggunakan kripto semakin mendesak, terutama saat nilai tukar kripto menjadi
bagian dari struktur agunan.
Di sinilah letak
urgensinya: peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik sangat
penting untuk mendokumentasikan kesepakatan hukum yang sah dan mengikat antara
para pihak. Meski belum ada norma khusus tentang kripto sebagai objek jaminan,
Pasal 1320 KUH Perdata membuka ruang dengan asas kebebasan berkontrak,
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Maka pertanyaannya: bagaimana notaris seharusnya bertindak ketika diminta
membuat perjanjian jaminan kripto?
1. Urgensi Akta
Otentik di Tengah Kekosongan Regulasi
Pasal 1868 KUH Perdata
mendefinisikan akta otentik sebagai akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang, dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam konteks ini, notaris memegang peran vital dalam menjamin otentisitas suatu
perjanjian. Perjanjian utang-piutang dengan kripto sebagai jaminan bukanlah
perjanjian yang dilarang, selama tidak bertentangan dengan norma hukum yang
berlaku.
Menurut asas
konsensualisme dalam hukum perjanjian, suatu kontrak dianggap sah apabila telah
memenuhi empat syarat Pasal 1320 KUH Perdata:
- Kesepakatan para pihak;
- Kecakapan untuk membuat perjanjian;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Ketika pihak debitur
dan kreditur menyepakati bahwa kripto dijadikan jaminan, maka unsur hal
tertentu telah terpenuhi. Selama tidak ada larangan eksplisit, notaris
dapat memfasilitasi terbentuknya perjanjian ini secara otentik. Akta otentik
dalam hal ini akan menjadi bukti paling kuat apabila terjadi sengketa.
2. Identifikasi
Lembaga Jaminan Paling Relevan: Fidusia atau Gadai?
Dalam praktik hukum
Indonesia, terdapat dua skema utama jaminan atas benda bergerak: gadai
dan fidusia. Keduanya memiliki dasar hukum dan karakteristik yang
berbeda. Pertanyaannya adalah: skema mana yang paling cocok untuk digunakan
dalam menjamin aset kripto?
Gadai (KUHPer Pasal
1150 dst.)
Gadai mensyaratkan
penyerahan fisik benda kepada kreditur. Pasal 1150 KUHPerdata menyebut bahwa
gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu benda
bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas nama
debitur.
Permasalahannya:
kripto tidak memiliki bentuk fisik. Sifatnya digital, tersimpan dalam dompet
kripto (wallet) yang dikontrol oleh kunci privat. Penyerahan kepemilikan tidak
terjadi secara fisik, melainkan melalui pengalihan kendali atas wallet. Dalam
konteks hukum perdata, penyerahan immateriil seperti ini belum
sepenuhnya terakomodasi dalam pengertian "penyerahan" menurut KUHPer.
Fidusia (UU No. 42
Tahun 1999)
Fidusia memberikan
fleksibilitas lebih besar. Undang-undang ini mengakui jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud, dengan
pemindahtanganan kepemilikan secara fidusia, tanpa harus menyerahkan barangnya
secara fisik.
Pasal 1 angka 1 UU
Fidusia menyebutkan:
“Fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.”
Dalam konteks kripto,
pemilik tetap dapat menguasai asetnya selama belum wanprestasi. Maka,
pendekatan fidusia jauh lebih mendekati prinsip penguasaan aset digital seperti
kripto.
Namun demikian,
terdapat celah hukum: apakah kripto sudah bisa dikategorikan sebagai
"benda bergerak tidak berwujud" dalam pengertian UU Fidusia? Belum
ada putusan pengadilan atau peraturan pelaksana yang memberikan jawaban
eksplisit. Meski demikian, berdasarkan sifatnya yang dapat dimiliki, memiliki
nilai ekonomis, dapat diperdagangkan, dan dapat dialihkan, kripto secara
fungsional dapat diargumentasikan sebagai objek yang memenuhi syarat jaminan
fidusia.
3. Praktik Awal dan
Tanggung Jawab Notaris
Dalam kondisi
kekosongan regulasi, notaris perlu bersikap hati-hati namun tetap progresif.
Permintaan dari klien untuk membuat perjanjian jaminan kripto menuntut notaris
untuk melakukan observasi menyeluruh, baik terhadap objek jaminan maupun
struktur hukumnya.
Beberapa langkah
kehati-hatian yang dapat diterapkan notaris:
- Verifikasi kepemilikan kripto: memastikan bahwa pihak yang
menjaminkan benar-benar memiliki akses ke wallet dan kunci privatnya.
- Identifikasi media penyimpanan: kripto disimpan di exchange atau
private wallet? Jika di exchange, dapatkah dikunci melalui smart contract
atau sistem escrow?
- Klausul pengalihan kendali: dalam hal terjadi wanprestasi,
bagaimana kripto akan dialihkan atau dijual untuk pelunasan utang?
- Pengamanan eksekusi: apakah exchange lokal memiliki
mekanisme teknis untuk menahan atau melepas aset atas permintaan
notaris/kreditur?
Notaris harus menyusun
struktur klausul yang menjamin pengalihan hak dan tanggung jawab secara
transparan serta dapat dilaksanakan. Tanpa ini, akta berisiko tidak dapat
dieksekusi, bahkan batal demi hukum.
4. Menuju Inovasi
Lembaga Jaminan Digital
Dalam jangka panjang,
sistem hukum Indonesia memerlukan reformasi struktural untuk
mengakomodasi jaminan atas aset digital seperti kripto. Inovasi hukum harus
dilandasi pada pengakuan normatif bahwa kripto merupakan objek hukum yang
sah untuk dijadikan agunan.
Beberapa arah
kebijakan yang dapat dipertimbangkan:
- Revisi UU Fidusia agar mencantumkan secara eksplisit
bahwa aset digital (termasuk kripto) adalah objek jaminan.
- Penyusunan UU Jaminan Digital yang memuat struktur baru jaminan atas
aset non-fisik.
- Penerbitan Peraturan OJK/Bappebti terkait mekanisme teknis pelaksanaan
jaminan kripto dan eksekusinya.
- Kolaborasi dengan exchange untuk membuat sistem escrow atau smart
custody yang memungkinkan pemblokiran aset secara legal melalui integrasi
teknis dan hukum.
Di negara-negara
seperti Singapura dan Amerika Serikat, praktik jaminan kripto telah menjadi
bagian dari sistem keuangan alternatif. Bahkan beberapa startup fintech
menyediakan layanan pinjaman dengan kripto sebagai jaminan (crypto-backed
loans), yang teregulasi secara ketat.
Notaris di Indonesia
perlu menyuarakan kebutuhan akan legalisasi skema serupa secara formal, dengan
mengedepankan prinsip perlindungan hukum bagi kreditur dan debitur sekaligus.
Penutup dan
Rekomendasi
Meskipun regulasi
jaminan kripto belum tersedia secara eksplisit, kebutuhan hukum di masyarakat
telah lebih dahulu hadir. Notaris sebagai penjaga legalitas hubungan perdata
memiliki peran penting untuk menjembatani kekosongan ini dengan landasan
prinsip kehati-hatian dan argumentasi hukum yang solid.
Kekuatan Pasal 1320
KUHPerdata memberi ruang bahwa perjanjian yang sah tetap berlaku walau objeknya
belum diatur khusus. Dengan demikian, kripto dapat dijadikan objek jaminan
sejauh:
·
Kepemilikannya sah;
·
Disepakati para pihak;
·
Tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku.
Perlu ditekankan bahwa
fidusia menjadi pendekatan yang paling mungkin diterapkan, meskipun belum
sepenuhnya terakomodasi secara normatif. Peran notaris bukan sekadar pembuat
akta, tetapi juga penasehat hukum privat yang mampu menavigasi celah hukum
dengan tetap menjaga integritas hukum nasional.
Negara, melalui OJK
atau pembentuk undang-undang, hendaknya segera merumuskan bentuk perlindungan
hukum bagi kripto sebagai jaminan hutang. Namun sebelum hal itu terwujud,
notaris dapat mengambil posisi sebagai pengawal transisi—mengisi kekosongan
dengan norma-norma kontraktual yang kuat dan akuntabel.
comment 0 Comment
more_vert