MASIGNCLEAN101

Kripto sebagai Jaminan Hutang: Kekosongan Hukum dan Peluang Inovasi - Seri 3

Kripto sebagai Jaminan Hutang: Kekosongan Hukum dan Peluang Inovasi - Seri 3
Sunday, August 3, 2025

 


Pendahuluan: Kripto dan Dinamika Pemanfaatannya

Era keuangan digital telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat memandang dan menggunakan aset. Salah satu bentuk inovasi paling signifikan adalah penggunaan mata uang kripto seperti Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) sebagai sumber nilai, instrumen investasi, bahkan sebagai jaminan dalam perjanjian utang. Fenomena ini berkembang seiring meningkatnya adopsi teknologi blockchain, baik oleh individu maupun institusi keuangan.

Di Indonesia, pergeseran status kripto dari sekadar komoditas menjadi bagian dari sistem keuangan nasional membuka peluang baru, namun sekaligus memunculkan tantangan regulatif. Salah satu wacana yang patut didalami adalah pemanfaatan kripto sebagai jaminan utang. Sementara di negara maju praktik ini telah menjadi bagian dari ekosistem fintech, Indonesia justru menghadapi kekosongan norma hukum yang belum memberikan ruang eksplisit bagi mekanisme tersebut.

Mengapa Kripto Dijadikan Jaminan, Bukan Dijual?

Bagi banyak pemilik aset kripto, terutama yang telah berinvestasi sejak awal dan memegang koin utama seperti Bitcoin (BTC) atau Ethereum (ETH), menjual aset bukanlah pilihan ideal. Alasannya bukan semata karena fluktuasi harga, melainkan karena nilai kripto dipandang sebagai store of value jangka panjang yang diyakini akan terus meningkat. Menjual kripto berarti kehilangan potensi apresiasi aset di masa depan, atau bahkan kehilangan posisi saat pasar sedang “bullish”.

Selain itu, implikasi pajak atas transaksi jual beli kripto juga menjadi pertimbangan. Di beberapa yurisdiksi, termasuk Indonesia, penjualan aset kripto dapat dikenakan pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh (capital gain). Sementara itu, menjaminkan aset tidak memicu peristiwa kena pajak, selama aset tidak dialihkan secara yuridis.

Dengan menjadikan kripto sebagai jaminan, investor dapat memperoleh likuiditas (dana tunai) tanpa kehilangan kepemilikan atas aset. Ini mirip dengan logika penggadaian emas atau deposito. Model ini disebut sebagai crypto-backed lending dan telah berkembang luas di negara-negara dengan ekosistem keuangan digital yang matang, terutama karena memberikan fleksibilitas keuangan tanpa harus keluar dari posisi investasi.

Status Hukum dan Kekosongan Norma di Indonesia

UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) menjadi tonggak penting dalam redefinisi kripto di Indonesia. Aset kripto kini tidak lagi diposisikan sebagai komoditas semata seperti dalam rezim Bappebti, melainkan dikategorikan sebagai bagian dari aset keuangan digital yang menjadi ranah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, undang-undang ini belum secara eksplisit mengatur mengenai mekanisme jaminan dengan objek berupa aset digital seperti kripto.

Dalam praktik hukum jaminan di Indonesia, pengikatan jaminan atas benda bergerak tidak berwujud seperti kripto belum memiliki model baku. Fidusia sebagai rezim yang lazim digunakan untuk jaminan benda bergerak memiliki keterbatasan ketika diterapkan pada aset digital yang tidak memiliki eksistensi fisik dan tidak dapat didaftarkan dalam sistem fidusia nasional secara konvensional.

Permodelan Lembaga Jaminan: Fidusia atau Hybrid?

Pertanyaan utama yang muncul adalah: lembaga jaminan apa yang paling tepat untuk mengikat aset kripto?

  1. Jaminan Fidusia Digital:
    Bila tetap mengacu pada UU Fidusia, kripto dapat dianggap sebagai benda bergerak tidak berwujud. Namun, karena ketiadaan sistem pencatatan fidusia berbasis aset digital, diperlukan modernisasi sistem agar mampu mengakomodasi pencatatan berbasis hash code atau smart contract.
  2. Skema Escrow:
    Sebagian penyedia jasa keuangan berbasis blockchain menggunakan escrow wallet atau multisig wallet untuk mengamankan kripto yang dijaminkan. Dalam hal ini, pihak ketiga independen (biasanya custodian) memegang kendali terhadap akses aset selama masa pinjaman.
  3. Repositori atau Repo Digital:
    Pendekatan repurchase agreement ala pasar modal juga mulai diterapkan, di mana pemilik kripto menjual aset dengan janji beli kembali pada waktu dan harga tertentu. Ini menyamarkan hubungan kreditur-debitur, namun tetap berfungsi sebagai skema pendanaan berbasis jaminan.
  4. Hybrid Smart Contract-Backed Collateral:
    Dalam ekosistem DeFi (decentralized finance), jaminan kripto dilakukan dengan smart contract yang otomatis mengeksekusi likuidasi jika rasio utang melebihi batas yang ditentukan. Ini memungkinkan sistem otonom tanpa campur tangan lembaga keuangan tradisional.

Isu Teknis dan Yuridis: Siapa Menjamin Siapa?

Dalam praktik konvensional, jaminan biasanya dititipkan atau berada dalam penguasaan kreditur hingga utang lunas. Namun pada aset digital, keterbukaan sistem dan risiko pencurian digital menimbulkan tantangan baru:

  • Siapa yang berwenang memegang private key kripto saat menjadi jaminan?
  • Apakah harus disimpan di platform yang sama dengan tempat pinjaman dibuat?
  • Bagaimana mekanisme eksekusi bila terjadi wanprestasi?

Isu ini menjadi semakin rumit karena penyimpanan kripto dapat berada pada exchange yang berbeda dengan kreditur (misal aset di Indodax, namun kreditur adalah bank konvensional seperti BCA). Hal ini menuntut skema interoperabilitas dan kepercayaan lintas platform.

Dampak terhadap Pelaku Industri

  1. Exchange dan Custodian:
    Harus mempersiapkan integrasi layanan escrow, sistem multisignature, serta pembekuan aset sementara. Diperlukan pula regulasi terkait tanggung jawab hukum bila terjadi kebocoran akses atau penipuan.
  2. Investor Retail:
    Akan mendapatkan alternatif pendanaan tanpa menjual portofolio kriptonya. Namun, mereka harus dilindungi dari praktik overcollateralization atau bunga mencekik ala pinjol.
  3. Lembaga Keuangan Konvensional:
    Bank dan multifinance dapat masuk ke ekosistem ini bila didukung OJK, namun harus memahami risiko volatilitas dan fluktuasi harga kripto yang ekstrem.

Peluang Inovasi Regulasi: Menuju Sandbox Digital

OJK dan pemerintah dapat memfasilitasi inovasi ini dengan membuka kerangka regulatory sandbox bagi model bisnis pemanfaatan kripto sebagai jaminan. Tujuannya bukan sekadar eksperimen, melainkan menciptakan sistem yang terlindungi secara hukum, transparan secara teknologi, dan adil bagi semua pihak.

Beberapa langkah konkret antara lain:

  • Mendorong notaris digital dan pengesahan smart contract.
  • Mewajibkan pencatatan jaminan aset digital melalui platform terverifikasi OJK.
  • Menyiapkan kerangka hukum eksekusi non-litigasi yang adaptif terhadap aset digital.

Penutup

Kekosongan hukum dalam pemanfaatan kripto sebagai jaminan utang tidak semestinya menjadi penghambat inovasi, melainkan peluang untuk membangun sistem pembiayaan baru yang sesuai dengan zaman. Dengan kerangka hukum yang tepat, Indonesia dapat menjadi pionir dalam integrasi aset digital dalam sistem keuangan nasional, tanpa harus mengorbankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen.

 

(Tulisan ini adalah bagian dari Seri Regulatori Kripto Indonesia: Seri 3 dari 5)

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia