
Pendahuluan: Kripto dan Dinamika Pemanfaatannya
Era keuangan digital
telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat memandang dan menggunakan
aset. Salah satu bentuk inovasi paling signifikan adalah penggunaan mata uang
kripto seperti Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) sebagai sumber nilai, instrumen
investasi, bahkan sebagai jaminan dalam perjanjian utang. Fenomena ini
berkembang seiring meningkatnya adopsi teknologi blockchain, baik oleh individu
maupun institusi keuangan.
Di Indonesia,
pergeseran status kripto dari sekadar komoditas menjadi bagian dari sistem
keuangan nasional membuka peluang baru, namun sekaligus memunculkan tantangan
regulatif. Salah satu wacana yang patut didalami adalah pemanfaatan kripto
sebagai jaminan utang. Sementara di negara maju praktik ini telah
menjadi bagian dari ekosistem fintech, Indonesia justru menghadapi kekosongan
norma hukum yang belum memberikan ruang eksplisit bagi mekanisme tersebut.
Mengapa Kripto Dijadikan Jaminan, Bukan Dijual?
Bagi banyak pemilik
aset kripto, terutama yang telah berinvestasi sejak awal dan memegang koin
utama seperti Bitcoin (BTC) atau Ethereum (ETH), menjual aset bukanlah pilihan
ideal. Alasannya bukan semata karena fluktuasi harga, melainkan karena nilai
kripto dipandang sebagai store of value jangka panjang yang diyakini
akan terus meningkat. Menjual kripto berarti kehilangan potensi apresiasi aset
di masa depan, atau bahkan kehilangan posisi saat pasar sedang “bullish”.
Selain itu, implikasi
pajak atas transaksi jual beli kripto juga menjadi pertimbangan. Di beberapa
yurisdiksi, termasuk Indonesia, penjualan aset kripto dapat dikenakan pajak
penghasilan atas keuntungan yang diperoleh (capital gain). Sementara
itu, menjaminkan aset tidak memicu peristiwa kena pajak, selama aset tidak
dialihkan secara yuridis.
Dengan menjadikan
kripto sebagai jaminan, investor dapat memperoleh likuiditas (dana tunai) tanpa
kehilangan kepemilikan atas aset. Ini mirip dengan logika penggadaian emas atau
deposito. Model ini disebut sebagai crypto-backed lending dan telah
berkembang luas di negara-negara dengan ekosistem keuangan digital yang matang,
terutama karena memberikan fleksibilitas keuangan tanpa harus keluar dari
posisi investasi.
Status Hukum dan Kekosongan Norma di Indonesia
UU No. 4 Tahun 2023
tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) menjadi tonggak
penting dalam redefinisi kripto di Indonesia. Aset kripto kini tidak lagi
diposisikan sebagai komoditas semata seperti dalam rezim Bappebti, melainkan
dikategorikan sebagai bagian dari aset keuangan digital yang menjadi
ranah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, undang-undang ini belum
secara eksplisit mengatur mengenai mekanisme jaminan dengan objek berupa aset
digital seperti kripto.
Dalam praktik hukum
jaminan di Indonesia, pengikatan jaminan atas benda bergerak tidak berwujud
seperti kripto belum memiliki model baku. Fidusia sebagai rezim yang lazim
digunakan untuk jaminan benda bergerak memiliki keterbatasan ketika diterapkan
pada aset digital yang tidak memiliki eksistensi fisik dan tidak dapat
didaftarkan dalam sistem fidusia nasional secara konvensional.
Permodelan Lembaga Jaminan: Fidusia atau Hybrid?
Pertanyaan utama yang
muncul adalah: lembaga jaminan apa yang paling tepat untuk mengikat aset
kripto?
- Jaminan Fidusia Digital:Bila tetap mengacu pada UU Fidusia, kripto dapat dianggap sebagai benda bergerak tidak berwujud. Namun, karena ketiadaan sistem pencatatan fidusia berbasis aset digital, diperlukan modernisasi sistem agar mampu mengakomodasi pencatatan berbasis hash code atau smart contract.
- Skema Escrow:Sebagian penyedia jasa keuangan berbasis blockchain menggunakan escrow wallet atau multisig wallet untuk mengamankan kripto yang dijaminkan. Dalam hal ini, pihak ketiga independen (biasanya custodian) memegang kendali terhadap akses aset selama masa pinjaman.
- Repositori atau Repo Digital:Pendekatan repurchase agreement ala pasar modal juga mulai diterapkan, di mana pemilik kripto menjual aset dengan janji beli kembali pada waktu dan harga tertentu. Ini menyamarkan hubungan kreditur-debitur, namun tetap berfungsi sebagai skema pendanaan berbasis jaminan.
- Hybrid Smart Contract-Backed Collateral:Dalam ekosistem DeFi (decentralized finance), jaminan kripto dilakukan dengan smart contract yang otomatis mengeksekusi likuidasi jika rasio utang melebihi batas yang ditentukan. Ini memungkinkan sistem otonom tanpa campur tangan lembaga keuangan tradisional.
Isu Teknis dan Yuridis: Siapa Menjamin Siapa?
Dalam praktik
konvensional, jaminan biasanya dititipkan atau berada dalam penguasaan kreditur
hingga utang lunas. Namun pada aset digital, keterbukaan sistem dan risiko
pencurian digital menimbulkan tantangan baru:
- Siapa yang berwenang memegang private
key kripto saat menjadi jaminan?
- Apakah harus disimpan di platform yang
sama dengan tempat pinjaman dibuat?
- Bagaimana mekanisme eksekusi bila
terjadi wanprestasi?
Isu ini menjadi
semakin rumit karena penyimpanan kripto dapat berada pada exchange yang berbeda
dengan kreditur (misal aset di Indodax, namun kreditur adalah bank konvensional
seperti BCA). Hal ini menuntut skema interoperabilitas dan kepercayaan lintas platform.
Dampak terhadap Pelaku Industri
- Exchange dan Custodian:Harus mempersiapkan integrasi layanan escrow, sistem multisignature, serta pembekuan aset sementara. Diperlukan pula regulasi terkait tanggung jawab hukum bila terjadi kebocoran akses atau penipuan.
- Investor Retail:Akan mendapatkan alternatif pendanaan tanpa menjual portofolio kriptonya. Namun, mereka harus dilindungi dari praktik overcollateralization atau bunga mencekik ala pinjol.
- Lembaga Keuangan Konvensional:Bank dan multifinance dapat masuk ke ekosistem ini bila didukung OJK, namun harus memahami risiko volatilitas dan fluktuasi harga kripto yang ekstrem.
Peluang Inovasi Regulasi: Menuju Sandbox Digital
OJK dan pemerintah
dapat memfasilitasi inovasi ini dengan membuka kerangka regulatory sandbox
bagi model bisnis pemanfaatan kripto sebagai jaminan. Tujuannya bukan sekadar
eksperimen, melainkan menciptakan sistem yang terlindungi secara hukum,
transparan secara teknologi, dan adil bagi semua pihak.
Beberapa langkah
konkret antara lain:
- Mendorong notaris digital dan pengesahan
smart contract.
- Mewajibkan pencatatan jaminan aset
digital melalui platform terverifikasi OJK.
- Menyiapkan kerangka hukum eksekusi
non-litigasi yang adaptif terhadap aset digital.
Penutup
Kekosongan hukum dalam
pemanfaatan kripto sebagai jaminan utang tidak semestinya menjadi penghambat
inovasi, melainkan peluang untuk membangun sistem pembiayaan baru yang sesuai
dengan zaman. Dengan kerangka hukum yang tepat, Indonesia dapat menjadi pionir
dalam integrasi aset digital dalam sistem keuangan nasional, tanpa harus
mengorbankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
(Tulisan ini adalah
bagian dari Seri Regulatori Kripto Indonesia: Seri 3 dari 5)
comment 0 Comment
more_vert