
Pernahkah Anda melihat iklan lelang di KPKNL atau
website resmi DJKN?
Tanah kavling strategis di kota besar, rumah mewah, atau ruko dengan harga
nyaris setengah pasar.
Membacanya saja bikin ngiler. Siapa yang tidak tergoda membeli properti dengan
harga jauh di bawah nilai pasar?
Banyak orang awam berpikir: “Kalau saya ikut
lelang dan menang, tinggal bayar, langsung bisa pegang kunci rumahnya.”
Sayangnya, kenyataan tidak semanis iklannya.
Lelang eksekusi, khususnya lelang eksekusi Hak
Tanggungan (HT), bukanlah jual beli biasa.
Ada banyak “jebakan” yang menanti, baik bagi debitur yang rumahnya dilelang,
maupun peserta lelang yang jadi pemenang.
Tulisan ini mencoba membuka fakta di balik layar:
kenapa lelang eksekusi di Indonesia tampak mudah bagi kreditur, tapi justru
tidak sehat secara praktik; kenapa debitur minim perlindungan; dan kenapa
peserta lelang sering gigit jari meski sudah menang.
Apa Itu Lelang Eksekusi Hak
Tanggungan?
Mari kita luruskan dulu.
Lelang eksekusi bukan transaksi sukarela.
Penjualnya bukan debitur (pemilik sah), melainkan negara melalui KPKNL
yang menjual atas nama kreditur (misalnya bank).
Dasar hukumnya ada di UU Hak Tanggungan (UUHT).
Sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh BPN tidak hanya mencatat adanya
jaminan, tapi juga mengandung titel eksekutorial. Di kepala sertifikat
itu tertulis rumus sakti:
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Frasa ini artinya: sertifikat hak tanggungan punya
kekuatan hukum setara dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Dengan kata lain, kalau debitur wanprestasi, kreditur bisa langsung
mengeksekusi jaminan lewat lelang, tanpa perlu menggugat ke pengadilan.
Singkatnya, sertifikat HT ibarat “jalan tol
eksekusi” bagi bank.
Kenapa Kreditur Sangat
Diuntungkan?
Di masa kolonial Belanda, eksekusi utang harus
melalui dua tahap:
- Ada grosse akta pengakuan utang (pernyataan debitur mengakui
berhutang),
- Ada grosse akta jaminan (misalnya hipotek).
Keduanya diperlakukan sama dengan putusan hakim,
sehingga kreditur bisa eksekusi tanpa gugatan.
Indonesia kemudian “mempercepat” lagi. Dengan UUHT,
cukup sertifikat hak tanggungan saja, kreditur sudah bisa meminta lelang ke
KPKNL. Tidak perlu lagi grosse pengakuan hutang.
Bagi bank, ini kabar baik. Mereka bisa menjaga
likuiditas, menutup kerugian kredit macet, dan merasa lebih aman memberi
pinjaman.
Namun, apakah mekanisme ini betul-betul sehat?
Masalah Pertama: Debitur
Minim Perlindungan
Bagi debitur, sistem ini terasa timpang. Bayangkan:
- Rumah atau tanah Anda bisa langsung dilelang begitu dianggap
wanprestasi.
- Anda tidak otomatis masuk pengadilan untuk membela diri.
- Hak Anda hanya tersisa pada “perlawanan eksekusi” setelah
lelang berjalan.
Dalam teori negara hukum, prinsip due process of
law mengharuskan setiap eksekusi paksa melewati putusan hakim.
Tapi dalam praktik eksekusi HT, prinsip ini dipotong. Debitur hanya jadi
penonton atas eksekusi rumahnya sendiri.
Tak heran, banyak debitur melakukan perlawanan
langsung di lapangan: menolak keluar, menghalangi pengosongan, bahkan bentrok
dengan aparat.
Masalah Kedua: Peserta
Lelang Minim Peminat
Di atas kertas, lelang KPKNL menawarkan harga
murah.
Namun di lapangan, peserta lelang sudah paham: menang lelang bukan berarti
langsung pegang kunci.
Kenapa?
Karena pemenang lelang tidak otomatis dapat pengosongan. Setelah
membayar penuh, pemenang masih harus menghadapi kenyataan pahit: rumah yang
dimenangkan masih dikuasai debitur.
Debitur tentu tidak rela begitu saja meninggalkan
rumahnya. Maka pemenang lelang sering harus menggugat ke pengadilan untuk
mengosongkan, dengan biaya tambahan, waktu yang panjang, dan risiko konflik.
Akibatnya, banyak orang enggan ikut lelang. Harga
lelang jatuh rendah, kadang harus diulang beberapa kali, bahkan tetap tidak
laku.
Masalah Ketiga: Lelang
Kehilangan Esensi
Fungsi utama lelang eksekusi seharusnya ada tiga:
- Transparansi → proses terbuka untuk
umum, mencegah main belakang.
- Akuntabilitas → hasil tercatat resmi, bisa dipertanggungjawabkan.
- Harga Terbaik → dengan banyak peserta, barang seharusnya terjual dengan harga
mendekati pasar.
Tapi realitas hari ini berbeda.
- Peserta lelang minim, harga jatuh.
- Tujuan bukan lagi mencari harga optimal, melainkan sekadar menutup
piutang bank.
- Lelang berubah fungsi dari mekanisme akuntabel menjadi formalitas
administratif.
Dengan kata lain, lelang eksekusi hari ini hanya
menjual sisa nilai piutang kreditur, bukan mencari nilai wajar aset
debitur.
Efek Domino: Jalan Tol yang
Justru Macet
Mari kita lihat paradoksnya:
- Kreditur diberi jalan tol hukum
agar bisa eksekusi cepat.
- Debitur kehilangan kesempatan
membela diri secara adil.
- Peserta lelang enggan masuk karena tahu menang lelang berarti ikut perang urusan
pengosongan.
- Pengadilan akhirnya tetap diseret
ke dalam konflik, karena debitur atau pemenang lelang pada akhirnya harus
menggugat juga.
Jadi, meski secara normatif eksekusi makin mudah,
secara praktis justru tidak efektif. Jalan tol hukum itu di atas kertas mulus,
tapi di lapangan macet karena protes, perlawanan, dan minim peminat.
Contoh Nyata di Lapangan
Ambil kasus rumah tinggal.
Harga pasarnya Rp1,5 miliar. Karena macet, bank minta eksekusi. KPKNL
mengumumkan lelang dengan limit Rp900 juta.
Peserta lelang berpikir, “Wah murah sekali, bisa
hemat Rp600 juta.”
Setelah menang, pemenang bayar lunas, dapat risalah lelang.
Tapi saat mendatangi rumah, debitur masih tinggal di situ, menolak keluar.
Akhirnya, pemenang lelang harus mengajukan permohonan
pengosongan ke pengadilan, bayar biaya perkara, sewa pengacara, dan
menunggu proses panjang.
Biaya tambahan bisa mencapai puluhan juta, belum lagi energi dan stres
menghadapi konflik.
Apakah masih murah? Belum tentu.
Pelajaran untuk Debitur
Bagi debitur, jangan menunggu sampai rumah
benar-benar dieksekusi.
- Negosiasi restrukturisasi jauh lebih bijak. Banyak bank lebih memilih restrukturisasi ketimbang
eksekusi, karena eksekusi sering tidak efektif.
- Jangan berpikir bank “tidak berani” mengeksekusi. Sertifikat HT
memberi mereka senjata hukum yang sangat kuat.
Pelajaran untuk Peserta
Lelang
Bagi calon peserta lelang, pahami bahwa:
- Harga murah di lelang = konsekuensi risiko tinggi.
- Anda membeli hak atas objek, bukan jaminan penguasaan fisik
langsung.
- Persiapkan mental, biaya tambahan, bahkan jalur hukum untuk
mengosongkan.
- Jangan hanya mengandalkan mimpi “beli murah langsung untung besar.”
Urgensi Reformasi: Butuh UU
Lelang
Saat ini, aturan lelang di Indonesia masih bertumpu
pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Artinya: regulasi bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung kebijakan pemerintah,
tanpa perdebatan serius di DPR.
Padahal, lelang menyangkut hak asasi warga (debitur
yang rumahnya dijual, peserta lelang yang terikat nasib, dan kreditur yang
ingin kepastian).
Tidak adil kalau mekanisme sebesar ini hanya diatur dengan PMK yang bisa
diganti-ganti sesuka hati.
Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang
Lelang yang kokoh, agar:
- Perlindungan debitur lebih jelas,
- Hak peserta lelang lebih pasti,
- Prosedur eksekusi lebih sehat,
- Fungsi lelang kembali ke esensi: transparan, akuntabel, dan
menghasilkan harga terbaik.
Penutup: Jangan Tergiur
Harga Murah
Lelang eksekusi hak tanggungan bukan pasar loak. Ia
adalah mekanisme hukum dengan banyak risiko, ketidakpastian, dan konflik.
Bagi debitur, jangan pasrah menunggu rumah
dilelang; selalu cari jalan negosiasi lebih dulu.
Bagi calon peserta lelang, jangan buta hukum; pahami bahwa harga murah punya
ongkos tersembunyi.
Bagi negara, jangan biarkan mekanisme eksekusi terus pincang; sudah waktunya
ada UU Lelang yang memberi keseimbangan dan kepastian hukum.
Karena dalam lelang eksekusi, satu hal yang pasti
adalah:
Murah di brosur, belum tentu mudah di lapangan.
comment 0 Comment
more_vert