MASIGNCLEAN101

Lelang Eksekusi: Murah Tapi Tidak Mudah... Waspadalah !!!

Lelang Eksekusi: Murah Tapi Tidak Mudah... Waspadalah !!!
Tuesday, August 26, 2025

 

 Pendahuluan: Mimpi Manis Harga Miring

Pernahkah Anda melihat iklan lelang di KPKNL atau website resmi DJKN?
Tanah kavling strategis di kota besar, rumah mewah, atau ruko dengan harga nyaris setengah pasar.
Membacanya saja bikin ngiler. Siapa yang tidak tergoda membeli properti dengan harga jauh di bawah nilai pasar?

Banyak orang awam berpikir: “Kalau saya ikut lelang dan menang, tinggal bayar, langsung bisa pegang kunci rumahnya.”
Sayangnya, kenyataan tidak semanis iklannya.

Lelang eksekusi, khususnya lelang eksekusi Hak Tanggungan (HT), bukanlah jual beli biasa.
Ada banyak “jebakan” yang menanti, baik bagi debitur yang rumahnya dilelang, maupun peserta lelang yang jadi pemenang.

Tulisan ini mencoba membuka fakta di balik layar: kenapa lelang eksekusi di Indonesia tampak mudah bagi kreditur, tapi justru tidak sehat secara praktik; kenapa debitur minim perlindungan; dan kenapa peserta lelang sering gigit jari meski sudah menang.

 

Apa Itu Lelang Eksekusi Hak Tanggungan?

Mari kita luruskan dulu.

Lelang eksekusi bukan transaksi sukarela. Penjualnya bukan debitur (pemilik sah), melainkan negara melalui KPKNL yang menjual atas nama kreditur (misalnya bank).

Dasar hukumnya ada di UU Hak Tanggungan (UUHT). Sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan oleh BPN tidak hanya mencatat adanya jaminan, tapi juga mengandung titel eksekutorial. Di kepala sertifikat itu tertulis rumus sakti:

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Frasa ini artinya: sertifikat hak tanggungan punya kekuatan hukum setara dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, kalau debitur wanprestasi, kreditur bisa langsung mengeksekusi jaminan lewat lelang, tanpa perlu menggugat ke pengadilan.

Singkatnya, sertifikat HT ibarat “jalan tol eksekusi” bagi bank.

 

Kenapa Kreditur Sangat Diuntungkan?

Di masa kolonial Belanda, eksekusi utang harus melalui dua tahap:

  1. Ada grosse akta pengakuan utang (pernyataan debitur mengakui berhutang),
  2. Ada grosse akta jaminan (misalnya hipotek).

Keduanya diperlakukan sama dengan putusan hakim, sehingga kreditur bisa eksekusi tanpa gugatan.

Indonesia kemudian “mempercepat” lagi. Dengan UUHT, cukup sertifikat hak tanggungan saja, kreditur sudah bisa meminta lelang ke KPKNL. Tidak perlu lagi grosse pengakuan hutang.

Bagi bank, ini kabar baik. Mereka bisa menjaga likuiditas, menutup kerugian kredit macet, dan merasa lebih aman memberi pinjaman.

Namun, apakah mekanisme ini betul-betul sehat?

 

Masalah Pertama: Debitur Minim Perlindungan

Bagi debitur, sistem ini terasa timpang. Bayangkan:

  • Rumah atau tanah Anda bisa langsung dilelang begitu dianggap wanprestasi.
  • Anda tidak otomatis masuk pengadilan untuk membela diri.
  • Hak Anda hanya tersisa pada “perlawanan eksekusi” setelah lelang berjalan.

Dalam teori negara hukum, prinsip due process of law mengharuskan setiap eksekusi paksa melewati putusan hakim.
Tapi dalam praktik eksekusi HT, prinsip ini dipotong. Debitur hanya jadi penonton atas eksekusi rumahnya sendiri.

Tak heran, banyak debitur melakukan perlawanan langsung di lapangan: menolak keluar, menghalangi pengosongan, bahkan bentrok dengan aparat.

 

Masalah Kedua: Peserta Lelang Minim Peminat

Di atas kertas, lelang KPKNL menawarkan harga murah.
Namun di lapangan, peserta lelang sudah paham: menang lelang bukan berarti langsung pegang kunci.

Kenapa?
Karena pemenang lelang tidak otomatis dapat pengosongan. Setelah membayar penuh, pemenang masih harus menghadapi kenyataan pahit: rumah yang dimenangkan masih dikuasai debitur.

Debitur tentu tidak rela begitu saja meninggalkan rumahnya. Maka pemenang lelang sering harus menggugat ke pengadilan untuk mengosongkan, dengan biaya tambahan, waktu yang panjang, dan risiko konflik.

Akibatnya, banyak orang enggan ikut lelang. Harga lelang jatuh rendah, kadang harus diulang beberapa kali, bahkan tetap tidak laku.

 

Masalah Ketiga: Lelang Kehilangan Esensi

Fungsi utama lelang eksekusi seharusnya ada tiga:

  1. Transparansi → proses terbuka untuk umum, mencegah main belakang.
  2. Akuntabilitas → hasil tercatat resmi, bisa dipertanggungjawabkan.
  3. Harga Terbaik → dengan banyak peserta, barang seharusnya terjual dengan harga mendekati pasar.

Tapi realitas hari ini berbeda.

  • Peserta lelang minim, harga jatuh.
  • Tujuan bukan lagi mencari harga optimal, melainkan sekadar menutup piutang bank.
  • Lelang berubah fungsi dari mekanisme akuntabel menjadi formalitas administratif.

Dengan kata lain, lelang eksekusi hari ini hanya menjual sisa nilai piutang kreditur, bukan mencari nilai wajar aset debitur.

 

Efek Domino: Jalan Tol yang Justru Macet

Mari kita lihat paradoksnya:

  • Kreditur diberi jalan tol hukum agar bisa eksekusi cepat.
  • Debitur kehilangan kesempatan membela diri secara adil.
  • Peserta lelang enggan masuk karena tahu menang lelang berarti ikut perang urusan pengosongan.
  • Pengadilan akhirnya tetap diseret ke dalam konflik, karena debitur atau pemenang lelang pada akhirnya harus menggugat juga.

Jadi, meski secara normatif eksekusi makin mudah, secara praktis justru tidak efektif. Jalan tol hukum itu di atas kertas mulus, tapi di lapangan macet karena protes, perlawanan, dan minim peminat.

 

Contoh Nyata di Lapangan

Ambil kasus rumah tinggal.
Harga pasarnya Rp1,5 miliar. Karena macet, bank minta eksekusi. KPKNL mengumumkan lelang dengan limit Rp900 juta.

Peserta lelang berpikir, “Wah murah sekali, bisa hemat Rp600 juta.”
Setelah menang, pemenang bayar lunas, dapat risalah lelang.
Tapi saat mendatangi rumah, debitur masih tinggal di situ, menolak keluar.

Akhirnya, pemenang lelang harus mengajukan permohonan pengosongan ke pengadilan, bayar biaya perkara, sewa pengacara, dan menunggu proses panjang.
Biaya tambahan bisa mencapai puluhan juta, belum lagi energi dan stres menghadapi konflik.

Apakah masih murah? Belum tentu.

 

Pelajaran untuk Debitur

Bagi debitur, jangan menunggu sampai rumah benar-benar dieksekusi.

  • Negosiasi restrukturisasi jauh lebih bijak. Banyak bank lebih memilih restrukturisasi ketimbang eksekusi, karena eksekusi sering tidak efektif.
  • Jangan berpikir bank “tidak berani” mengeksekusi. Sertifikat HT memberi mereka senjata hukum yang sangat kuat.

 

Pelajaran untuk Peserta Lelang

Bagi calon peserta lelang, pahami bahwa:

  • Harga murah di lelang = konsekuensi risiko tinggi.
  • Anda membeli hak atas objek, bukan jaminan penguasaan fisik langsung.
  • Persiapkan mental, biaya tambahan, bahkan jalur hukum untuk mengosongkan.
  • Jangan hanya mengandalkan mimpi “beli murah langsung untung besar.”

 

Urgensi Reformasi: Butuh UU Lelang

Saat ini, aturan lelang di Indonesia masih bertumpu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Artinya: regulasi bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung kebijakan pemerintah, tanpa perdebatan serius di DPR.

Padahal, lelang menyangkut hak asasi warga (debitur yang rumahnya dijual, peserta lelang yang terikat nasib, dan kreditur yang ingin kepastian).
Tidak adil kalau mekanisme sebesar ini hanya diatur dengan PMK yang bisa diganti-ganti sesuka hati.

Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-Undang Lelang yang kokoh, agar:

  • Perlindungan debitur lebih jelas,
  • Hak peserta lelang lebih pasti,
  • Prosedur eksekusi lebih sehat,
  • Fungsi lelang kembali ke esensi: transparan, akuntabel, dan menghasilkan harga terbaik.

 

Penutup: Jangan Tergiur Harga Murah

Lelang eksekusi hak tanggungan bukan pasar loak. Ia adalah mekanisme hukum dengan banyak risiko, ketidakpastian, dan konflik.

Bagi debitur, jangan pasrah menunggu rumah dilelang; selalu cari jalan negosiasi lebih dulu.
Bagi calon peserta lelang, jangan buta hukum; pahami bahwa harga murah punya ongkos tersembunyi.
Bagi negara, jangan biarkan mekanisme eksekusi terus pincang; sudah waktunya ada UU Lelang yang memberi keseimbangan dan kepastian hukum.

Karena dalam lelang eksekusi, satu hal yang pasti adalah:
Murah di brosur, belum tentu mudah di lapangan.



Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia