MASIGNCLEAN101

Rekonstruksi Perbuatan Hukum Hibah Yang Dijadikan Dasar Peralihan Hak Atas Tanah

Rekonstruksi Perbuatan Hukum Hibah Yang Dijadikan Dasar Peralihan Hak Atas Tanah
Saturday, August 2, 2025

 


I. Pendahuluan

Hukum tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya. UUPA membentuk dasar hubungan hukum antara subjek dan objek tanah serta jenis-jenis perbuatan hukum yang menimbulkan, mengubah, atau menghapus hak atas tanah (vide Pasal 2 ayat (2) UUPA).

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) mewajibkan pendaftaran setiap peralihan, pembebanan, dan penghapusan hak atas tanah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum (Pasal 4 dan Pasal 37). Peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat berwenang: PPAT, pejabat lelang, atau PPAIW.

UUPA sendiri tidak memberikan definisi eksplisit atas bentuk-bentuk perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, atau hibah. Namun, semua perbuatan hukum peralihan hak tunduk pada asas Terang dan Tunai dalam hukum adat: harus dilakukan di hadapan pejabat (terang), dan berlaku seketika (tunai).

Tulisan ini akan mengkaji secara mendalam aspek hukum hibah atas tanah yang dilakukan antar perseorangan, yang dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak. Fokus utamanya adalah menelaah:

1.      Akibat hukum dari pendaftaran peralihan hak karena hibah;

2.      Pengaruh penarikan kembali atau pembatalan hibah terhadap kepastian hukum pendaftaran tanah;

3.      Usulan rekonstruksi norma hibah dalam konteks pendaftaran tanah.

 

II. Konsep Hibah dalam Sistem Hukum Indonesia

2.1. Hukum Perdata Barat

Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah perjanjian sepihak yang dilakukan saat pemberi masih hidup, bersifat cuma-cuma, dan tidak dapat ditarik kembali. Namun, unsur "tidak dapat ditarik kembali" tidak mutlak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1688 dan 923 KUHPerdata yang membuka kemungkinan pembatalan hibah oleh penghibah atau ahli waris karena pelanggaran terhadap hak waris legitime portie (LP).

2.2. Hukum Islam

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI):

·         Pasal 210: hibah tidak boleh melebihi 1/3 harta pewaris;

·         Pasal 211: hibah diperhitungkan sebagai warisan;

·         Pasal 212: hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali kepada anak.

2.3. Hukum Adat

Hibah dianggap sebagai bentuk pewarisan yang dilakukan semasa hidup oleh pemilik harta kepada ahli waris. Secara fungsional, hibah adalah "warisan dini".

Ketiga sistem hukum tersebut menunjukkan bahwa hibah dapat bersifat bersyarat, dengan potensi dibatalkan karena alasan yuridis tertentu.

 

III. Problematika Hibah sebagai Dasar Peralihan Hak atas Tanah

3.1. Hibah sebagai Perikatan Bersyarat

Menurut Pasal 1253 KUHPerdata, perikatan bersyarat menggantungkan keberlakuannya pada peristiwa yang mungkin terjadi. Dengan adanya norma pembatalan hibah oleh pengadilan atau karena keberatan ahli waris, maka hibah pada dasarnya bukan perbuatan hukum mutlak dan final, melainkan bersyarat batal.

3.2. Ketidakpastian Hukum akibat Pendaftaran Hibah

Dalam sistem publikasi negatif yang dianut Indonesia, keabsahan pendaftaran hak bergantung pada keabsahan perbuatan hukumnya. Bila hibah dinyatakan batal oleh pengadilan, maka balik nama pun ikut batal. Ini menimbulkan ketidakpastian dan bertentangan dengan tujuan utama pendaftaran tanah, yakni memberikan kepastian dan perlindungan hukum.

 

IV. Akibat Hukum dari Pendaftaran Hibah

Penerima hibah yang telah mendaftarkan balik nama atas tanah memiliki hak penuh secara administratif. Ia dapat mengalihkan atau menjadikan objek hibah sebagai jaminan utang. Namun, status hak ini rentan gugur bila hibah dibatalkan secara yuridis. Artinya, pendaftaran hibah belum memberikan jaminan hukum absolut.

 

V. Rekonstruksi Hibah dalam Konteks Pendaftaran Tanah

5.1. Penangguhan Pendaftaran Peralihan Hak

Hibah sebaiknya dipandang sebagai perjanjian antar pribadi yang tidak serta merta mengikat pihak ketiga. Oleh karena itu, pendaftaran peralihan hak atas tanah berdasarkan hibah seharusnya ditangguhkan sampai:

·         Penghibah meninggal dunia, dan

·         Dalam waktu 3 tahun sejak wafat, tidak ada gugatan dari ahli waris terkait hibah tersebut.

5.2. Pencatatan Sementara dalam Buku Tanah

Selama belum terpenuhinya syarat finalitas hibah, BPN cukup mencatatnya dalam catatan administratif sebagaimana blokir atau sita. Artinya, hibah tetap memiliki efek hukum antara para pihak, tetapi tidak dapat dipublikasi sebagai peralihan hak secara definitif.

 

VI. Kesimpulan dan Usulan Normatif

1.      Hibah sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah masih menyimpan potensi sengketa hukum karena unsur "tidak dapat ditarik kembali" dalam praktik tidak mutlak.

2.      Pendaftaran hibah sebagai peralihan hak menimbulkan semu kepastian hukum karena dapat dianulir oleh pembatalan hibah.

3.      Negara perlu menyusun regulasi yang membedakan hibah sebagai dasar peralihan hak dengan perbuatan hukum lainnya (jual beli, tukar-menukar), dengan mekanisme pencatatan sementara hingga hibah memiliki kekuatan hukum tetap.

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia