
I. Pendahuluan
Hukum tanah di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta
peraturan pelaksanaannya. UUPA membentuk dasar hubungan hukum antara subjek dan
objek tanah serta jenis-jenis perbuatan hukum yang menimbulkan, mengubah, atau
menghapus hak atas tanah (vide Pasal 2 ayat (2) UUPA).
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) mewajibkan pendaftaran setiap peralihan,
pembebanan, dan penghapusan hak atas tanah untuk menjamin kepastian dan
perlindungan hukum (Pasal 4 dan Pasal 37). Peralihan hak atas tanah harus
dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat berwenang: PPAT,
pejabat lelang, atau PPAIW.
UUPA sendiri tidak memberikan definisi eksplisit
atas bentuk-bentuk perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, atau
hibah. Namun, semua perbuatan hukum peralihan hak tunduk pada asas Terang
dan Tunai dalam hukum adat: harus dilakukan di hadapan pejabat
(terang), dan berlaku seketika (tunai).
Tulisan ini akan mengkaji secara mendalam aspek
hukum hibah atas tanah yang dilakukan antar perseorangan, yang dijadikan dasar
pendaftaran peralihan hak. Fokus utamanya adalah menelaah:
1.
Akibat hukum dari pendaftaran peralihan hak karena
hibah;
2.
Pengaruh penarikan kembali atau pembatalan hibah
terhadap kepastian hukum pendaftaran tanah;
3.
Usulan rekonstruksi norma hibah dalam konteks
pendaftaran tanah.
II. Konsep Hibah dalam Sistem Hukum
Indonesia
2.1. Hukum Perdata Barat
Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah
perjanjian sepihak yang dilakukan saat pemberi masih hidup, bersifat cuma-cuma,
dan tidak dapat ditarik kembali. Namun, unsur "tidak dapat ditarik
kembali" tidak mutlak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1688 dan 923
KUHPerdata yang membuka kemungkinan pembatalan hibah oleh penghibah atau ahli
waris karena pelanggaran terhadap hak waris legitime portie (LP).
2.2. Hukum Islam
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI):
·
Pasal 210: hibah tidak boleh melebihi 1/3 harta
pewaris;
·
Pasal 211: hibah diperhitungkan sebagai warisan;
·
Pasal 212: hibah tidak dapat ditarik kembali,
kecuali kepada anak.
2.3. Hukum Adat
Hibah dianggap sebagai bentuk pewarisan yang
dilakukan semasa hidup oleh pemilik harta kepada ahli waris. Secara fungsional,
hibah adalah "warisan dini".
Ketiga sistem hukum tersebut menunjukkan bahwa
hibah dapat bersifat bersyarat, dengan potensi dibatalkan karena
alasan yuridis tertentu.
III. Problematika Hibah sebagai Dasar
Peralihan Hak atas Tanah
3.1. Hibah sebagai Perikatan Bersyarat
Menurut Pasal 1253 KUHPerdata, perikatan
bersyarat menggantungkan keberlakuannya pada peristiwa yang mungkin terjadi.
Dengan adanya norma pembatalan hibah oleh pengadilan atau karena keberatan ahli
waris, maka hibah pada dasarnya bukan perbuatan hukum mutlak dan final,
melainkan bersyarat batal.
3.2. Ketidakpastian Hukum akibat
Pendaftaran Hibah
Dalam sistem publikasi negatif yang dianut
Indonesia, keabsahan pendaftaran hak bergantung pada keabsahan perbuatan
hukumnya. Bila hibah dinyatakan batal oleh pengadilan, maka balik nama pun ikut
batal. Ini menimbulkan ketidakpastian dan bertentangan dengan tujuan utama
pendaftaran tanah, yakni memberikan kepastian dan perlindungan hukum.
IV. Akibat Hukum dari Pendaftaran Hibah
Penerima hibah yang telah mendaftarkan balik nama
atas tanah memiliki hak penuh secara administratif. Ia dapat mengalihkan atau
menjadikan objek hibah sebagai jaminan utang. Namun, status hak ini rentan
gugur bila hibah dibatalkan secara yuridis. Artinya, pendaftaran hibah belum
memberikan jaminan hukum absolut.
V. Rekonstruksi Hibah dalam Konteks
Pendaftaran Tanah
5.1. Penangguhan Pendaftaran Peralihan
Hak
Hibah sebaiknya dipandang sebagai perjanjian
antar pribadi yang tidak serta merta mengikat pihak ketiga. Oleh karena
itu, pendaftaran peralihan hak atas tanah berdasarkan hibah seharusnya
ditangguhkan sampai:
·
Penghibah meninggal dunia, dan
·
Dalam waktu 3 tahun sejak wafat, tidak ada
gugatan dari ahli waris terkait hibah tersebut.
5.2. Pencatatan Sementara dalam Buku
Tanah
Selama belum terpenuhinya syarat finalitas hibah,
BPN cukup mencatatnya dalam catatan administratif sebagaimana blokir
atau sita. Artinya, hibah tetap memiliki efek hukum antara para pihak, tetapi
tidak dapat dipublikasi sebagai peralihan hak secara definitif.
VI. Kesimpulan dan Usulan Normatif
1.
Hibah sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah masih
menyimpan potensi sengketa hukum karena unsur "tidak dapat ditarik
kembali" dalam praktik tidak mutlak.
2.
Pendaftaran hibah sebagai peralihan hak menimbulkan semu
kepastian hukum karena dapat dianulir oleh pembatalan hibah.
3.
Negara perlu menyusun regulasi yang membedakan hibah
sebagai dasar peralihan hak dengan perbuatan hukum lainnya (jual beli,
tukar-menukar), dengan mekanisme pencatatan sementara hingga hibah memiliki
kekuatan hukum tetap.
comment 0 Comment
more_vert