MASIGNCLEAN101

Menimbang Ulang Etika Jabatan dalam Rehabilitasi Notaris Pailit: Sebuah Kritik atas Disertasi Shandi Izhandri

Menimbang Ulang Etika Jabatan dalam Rehabilitasi Notaris Pailit: Sebuah Kritik atas Disertasi Shandi Izhandri
Saturday, August 2, 2025

 


Abstrak:

Disertasi bertajuk “Kontruksi Regulasi Pengangkatan Kembali Notaris yang Telah Diberhentikan Secara Tidak Hormat Akibat Pailit Berbasis Nilai Keadilan” oleh Shandi Izhandri menawarkan wacana rehabilitasi jabatan bagi notaris yang telah diberhentikan karena pailit. Namun, secara konseptual dan aksiologis, argumentasi tersebut mengabaikan fondasi filsafat jabatan publik, menyederhanakan prinsip keadilan, dan menyamakan jabatan hukum dengan profesi privat biasa. Artikel ini menawarkan kritik konstruktif berdasarkan pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis dalam filsafat hukum.

 

1. Ontologi Jabatan Notaris: Public Trust, Bukan Profesi Privat

Pijakan utama disertasi Shandi adalah anggapan bahwa pailit merupakan urusan pribadi dan oleh karenanya tidak seharusnya berakibat pada status jabatan notaris. Argumen ini mengabaikan karakter ontologis jabatan notaris sebagai perpanjangan tangan negara di bidang hukum perdata. Notaris bukan sekadar profesional, tetapi seorang officier public (pejabat umum) yang akta-akta buatannya memiliki kekuatan otentik (Pasal 1868 KUHPerdata).

Menyamakan jabatan notaris dengan profesi lain yang tidak bersifat ambtelijk, seperti pengacara atau konsultan, adalah bentuk reduksi epistemik terhadap sifat hukum jabatan. Jabatan yang berlandaskan pada kepercayaan publik harus tunduk pada asas kehormatan jabatan (dignitas officii), bukan hanya kelayakan administratif.

 

2. Epistemologi Keliru: UU Kepailitan Tidak Mengatur Etika Jabatan

Disertasi ini menyusun narasi disharmoni antara Pasal 12 huruf a UUJN dan UU 37/2004 tentang Kepailitan. Sayangnya, kritik terhadap norma dilakukan tanpa metodologi hermeneutik yang memadai.

UU Kepailitan adalah rezim hukum ekonomi yang menyasar perlindungan kreditur dan efektivitas penyelesaian utang. Sementara itu, UU Jabatan Notaris mengatur tentang moralitas jabatan dan struktur kepercayaan dalam penyelenggaraan akta otentik. Tidak ada dasar untuk mengharuskan harmonisasi keduanya secara normatif, sebab domain pengaturannya berbeda.

Argumentasi disertasi ini ibarat menuntut agar orang yang pernah bangkrut sebagai pengusaha boleh kembali menjadi menteri keuangan — cukup karena ia sudah “rehabilitasi.” Ini tidak sejalan dengan etika publik.

 

3. Aksiologi Timpang: Keadilan Siapa yang Diperjuangkan?

Disertasi ini secara konsisten menyoroti keadilan bagi notaris yang diberhentikan. Namun, ia mengabaikan aspek keadilan yang lebih luas: masyarakat sebagai pengguna jasa notaris.

Etika publik tidak menuntut sempurna, tapi menuntut standar tinggi untuk profesi yang bersentuhan langsung dengan kepastian hukum orang lain. Kepercayaan terhadap akta notaris sangat bergantung pada reputasi dan integritas personal. Maka ketika seorang notaris pailit, terlepas dari alasan pribadi atau bisnis, bayangan ketidakcakapan akan melekat — dan ini mengganggu fungsi notaris sebagai penjamin legalitas.

 

4. Kritik terhadap Gagasan "Rekonstruksi"

Penulis mengklaim merekonstruksi Pasal 12 UUJN agar tidak memberhentikan secara tidak hormat notaris yang pailit. Namun yang terjadi hanyalah usulan administratif tanpa kerangka filsafat hukum atau formulasi kebijakan yang utuh.

Tidak ada penelusuran komparatif ke sistem notariat di negara lain, tidak ada simulasi dampak sosial, dan tidak ada pembahasan tentang potensi risiko pelemahan marwah jabatan. Padahal, bila tujuan utamanya adalah rekonstruksi norma, maka pendekatan policy-oriented legal research harus digunakan, bukan sekadar argumentasi simpatetik.

 

5. Penutup: Jabatan Publik Tidak Bisa Direhabilitasi Layaknya Kredit Skor

Dalam dunia hukum, pailit memang bukan kriminal. Tapi dalam dunia jabatan publik, pailit tetap menyentuh nilai prudential trust. Ketika seseorang tidak sanggup mengelola keuangan pribadi, maka negara berhak untuk tidak mempercayainya menjalankan jabatan yang penuh tanggung jawab hukum.

Maka kritik terhadap Pasal 12 UUJN seharusnya tidak diarahkan untuk menghapus norma pemberhentian, melainkan memperjelas batasan dan prosedur, serta mungkin mengatur mekanisme pengajuan rehabilitasi yang tetap menjamin etika jabatan — bukan sekadar formalitas administratif.

Referensi Singkat:

·         KUHPerdata Pasal 1868

·         UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

·         UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

·         Satjipto Rahardjo (1996). Ilmu Hukum Progresif

·         Philipus M. Hadjon (2007). Etika Profesi Hukum dalam Perspektif Good Governance

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia