
Bagi Anda yang pernah
mengajukan kredit di bank, mungkin pernah mendengar istilah covernote.
Biasanya, bank meminta notaris untuk menerbitkan surat ini sebagai bukti bahwa
dokumen penting, seperti sertifikat tanah, akta jual beli, atau hak tanggungan,
sedang dalam proses pengurusan.
Sekilas, covernote terlihat
sepele: hanya selembar surat keterangan. Tapi jangan salah, covernote bisa
berubah menjadi bumerang yang menyeret notaris ke pengadilan, bahkan
pidana.
Apa Itu Covernote?
Covernote adalah surat
keterangan sementara dari notaris. Isinya menjelaskan bahwa suatu dokumen
sedang dalam proses pengurusan, misalnya balik nama sertifikat atau pendaftaran
fidusia.
Masalahnya, UU Jabatan
Notaris (UUJN) tidak mengenal istilah covernote. Produk resmi notaris
adalah akta autentik, bukan covernote. Jadi, posisi hukum covernote
sebenarnya abu-abu: ada dalam praktik, tapi tidak punya dasar hukum jelas.
Kasus Nyata: Guru
Besar UBAYA Dituntut Pidana
Tahun 2018, publik dikejutkan
kasus seorang guru besar yang juga seorang Notaris/PPAT. Beliau dituntut tiga
bulan penjara karena menerbitkan covernote yang dianggap berisi keterangan
palsu.
Covernote itu kemudian dipakai
untuk mengeksekusi tanah dan rumah di Surabaya. Jaksa menilai tindakan tersebut
melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.
Kasus ini jadi bukti nyata
bahwa sekeping covernote bisa berubah jadi alat bukti pidana bila
digunakan untuk tujuan yang keliru.
Janji Waktu yang
Menjerat
Praktik covernote makin
berisiko ketika notaris (yang juga berperan sebagai PPAT) diminta mengurus
hal-hal administratif di kantor pertanahan, seperti:
- pendaftaran peralihan hak (jual beli, hibah,
waris),
- pembebanan hak tanggungan,
- pemecahan atau penggabungan sertifikat.
Bank sering mendesak agar
notaris menjanjikan batas waktu penyelesaian, misalnya:
- “balik nama selesai dalam 1 bulan”,
- “hak tanggungan terbit dalam 7 hari.”
Padahal, proses itu tidak
sepenuhnya ada di tangan notaris, karena bergantung pada BPN. Ketika
batas waktu lewat, notaris dituding wanprestasi bahkan dianggap memberi keterangan
palsu.
Notaris dalam
Tekanan Bank
Fenomena ini diperparah oleh
kenyataan bahwa jumlah notaris kian menjamur. Untuk bisa bertahan,
banyak notaris menjalin kerja sama dengan bank sebagai “rekanan tetap”.
Sayangnya, posisi ini sering
membuat notaris didikte oleh bank:
- diminta membuat covernote dengan format tertentu,
- diwajibkan menjanjikan batas waktu penyelesaian,
- bahkan diatur soal biaya dan honorarium.
Akibatnya, notaris yang
seharusnya independen sebagai pejabat umum, berubah seperti “penyedia
jasa administratif” yang tunduk pada tekanan pasar.
Risiko Hukum yang
Mengintai
- Perdata – notaris bisa digugat karena dianggap wanprestasi.
- Pidana – jika covernote berisi keterangan palsu, bisa dijerat Pasal 263
KUHP tentang pemalsuan surat.
- Etik dan jabatan – notaris berisiko kena sanksi dari Majelis
Pengawas atau organisasi profesi.
Solusi: Bijak
dalam Menerbitkan Covernote
- Batasi isi covernote: hanya menyatakan fakta bahwa dokumen sedang
diproses, tanpa janji waktu.
- Edukasi pengguna jasa: covernote bukan jaminan hukum, hanya surat
keterangan administratif.
- Jaga independensi: notaris harus ingat jati dirinya sebagai
pejabat umum, bukan pegawai bank.
- Perlu regulasi: pemerintah sebaiknya memberi kepastian—apakah covernote
dilegalkan dengan batasan, atau dilarang agar tidak jadi jebakan.
Penutup
Covernote ibarat pisau bermata
dua. Di satu sisi mempermudah transaksi, di sisi lain bisa menjerat pidana.
Kasus guru besar hukum yang juga seorang Notaris menjadi alarm keras bahwa setiap tulisan notaris
punya konsekuensi hukum, meski itu hanya selembar surat keterangan.
Dan selama notaris terus
berada di bawah tekanan pasar, terutama dari bank yang menjadi pengguna rutin
jasanya, risiko kriminalisasi akan selalu membayangi profesi ini.
comment 0 Comment
more_vert