MASIGNCLEAN101

Crypto Custody dan Perlindungan Kreditur: Menuju Kerangka Eksekusi Digital- Seri 4

Crypto Custody dan Perlindungan Kreditur: Menuju Kerangka Eksekusi Digital- Seri 4
Monday, August 4, 2025

 


I.       Pendahuluan

Kehadiran aset kripto dalam dinamika keuangan global telah melampaui fungsinya sebagai instrumen investasi spekulatif. Saat ini, aset kripto juga mulai digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian utang, mirip dengan agunan konvensional seperti tanah, kendaraan, atau deposito. Namun berbeda dengan jaminan fisik, kripto adalah aset digital yang terdesentralisasi dan tidak memiliki eksistensi fisik ataupun yurisdiksi domisili yang pasti. Oleh karena itu, pengalihan dan eksekusi jaminan kripto membutuhkan pendekatan hukum dan teknologi baru.

Salah satu aspek krusial adalah konsep custody, yaitu penyimpanan dan penguasaan aset digital selama masa perjanjian berlangsung. Dalam konteks ini, hak dan perlindungan kreditur bergantung sepenuhnya pada struktur crypto custody yang aman dan andal. Sayangnya, hingga kini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum eksekusi yang spesifik untuk aset digital sebagai jaminan.

Tulisan ini akan menjelajahi kebutuhan mendesak akan regulasi baru yang dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip jaminan konvensional ke dalam arsitektur digital, sekaligus menjaga perlindungan hukum bagi kreditur dan debitur dalam ekosistem keuangan kripto yang sedang berkembang.

 

II.      Transisi dari Jaminan Konvensional ke Digital

Dalam hukum perdata Indonesia, jaminan dikenal melalui bentuk-bentuk seperti gadai (benda bergerak), fidusia (benda bergerak termasuk tidak berwujud), hipotek (kapal dan pesawat terbang), dan hak tanggungan (tanah dan bangunan). Semua bentuk tersebut memiliki satu kesamaan: adanya pemisahan atau pengikatan hak atas objek jaminan untuk menjamin pemenuhan utang.

Namun dalam konteks aset kripto, jaminan tidak bisa diikat dengan cara yang sama. Kripto bukan benda berwujud, tidak terdaftar, dan tidak dapat diserahkan fisiknya seperti mobil atau emas. Bahkan dengan regulasi terkini (UU 4/2023 tentang P2SK), kripto telah dikategorikan sebagai aset keuangan digital, bukan sekadar komoditas sebagaimana di era Bappebti.

Dengan perubahan ini, diperlukan lompatan paradigma: dari jaminan berbasis fisik dan administratif, menuju jaminan yang berbasis digital-native dan terotomatisasi. Konsekuensinya, hukum jaminan kita juga harus berkembang: dari hak jaminan menjadi smart contract berbasis teknologi blockchain.


III.      Urgensi Crypto Custody dalam Struktur Jaminan

A.  Apa Itu Crypto Custody?

Secara sederhana, crypto custody adalah cara penyimpanan aset kripto oleh pihak ketiga (custodian), yang dipercaya menjaga aset secara aman, mirip dengan fungsi penitipan efek di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Dalam praktik internasional, terdapat dua model utama:

  • Custody terpusat (centralized): penyimpanan aset dilakukan oleh exchange atau lembaga kustodian tersertifikasi, misalnya Coinbase Custody.
  • Custody terdesentralisasi (decentralized): penyimpanan aset berada dalam wallet pribadi, dilindungi private key dan kontrol multisignature.

B. Fungsi Custody dalam Skema Jaminan

Dalam perjanjian jaminan berbasis kripto, aspek custody menjadi krusial karena:

  1. Siapa yang menguasai aset selama pinjaman berjalan?
    Bila aset tetap dikuasai debitur, maka risiko moral hazard tinggi. Bila dikuasai kreditur, perlu sistem kontrol agar tidak disalahgunakan.
  2. Bagaimana cara menjamin bahwa aset tidak dialihkan ke wallet lain secara diam-diam?
    Maka dibutuhkan sistem escrow atau mekanisme penguncian (lock-in) berbasis smart contract.
  3. Bagaimana menghindari kehilangan akibat peretasan?
    Maka lembaga kustodian harus memiliki sistem keamanan berlapis dan sertifikasi standar internasional (misal: ISO/IEC 27001, SOC 2). 

C. Model Ideal: Multi-sig & Escrow Otomatis

Salah satu model custody yang relevan untuk jaminan adalah multisignature wallet, di mana pengalihan aset membutuhkan tanda tangan bersama antara:

  • Debitur,
  • Kreditur,
  • dan Custodian pihak ketiga (notaris digital, misalnya).

Model ini memungkinkan kontrol bersama dan mencegah akses unilateral terhadap aset selama masa pinjaman.

 

IV.    Perlindungan Kreditur di Dunia Digital

A. Hak Kreditur: Menguasai atau Mengikat?

Dalam hukum jaminan, perbedaan antara penguasaan fisik dan pengikatan administratif memiliki konsekuensi hukum yang besar. Namun dalam dunia digital, penguasaan atas kripto hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki private key. Oleh sebab itu, jika tidak ada sistem custody yang tepercaya, maka perlindungan kreditur sangat rentan.

Solusi yang dapat digunakan:

  • Penguncian otomatis melalui smart contract, yang hanya dapat dibuka bila debitur melunasi kewajibannya.
  • Escrow wallet dengan otorisasi bersama, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

 

B. Siapa Bertanggung Jawab Jika Aset Hilang?

Jika terjadi kehilangan akibat peretasan, tanggung jawabnya tergantung pada siapa yang menguasai dan bagaimana pengelolaan custody dilakukan. Maka perlu:

  • Asuransi aset digital, sebagaimana berlaku di beberapa platform luar negeri.
  • Audit berkala dan transparansi operasional dari pihak custodian.

 

V.      Menuju Kerangka Eksekusi Digital

A. Tantangan Eksekusi Konvensional

Dalam eksekusi jaminan konvensional, diperlukan:

  1. Sertifikat atau bukti kepemilikan yang terdaftar,
  2. Lelang melalui pengadilan atau KPKNL (parate eksekusi),
  3. Pemberitahuan resmi ke debitur.

Namun kripto:

  • Tidak memiliki registrasi negara,
  • Tidak bisa dilelang melalui sistem reguler,
  • Bisa dialihkan tanpa notifikasi bila dikuasai sepihak.

 

B. Solusi: Eksekusi Melalui Protokol Digital

Konsep eksekusi bisa diotomatisasi dengan pendekatan:

  • Self-executing smart contract: perjanjian pinjam-meminjam diatur dalam kode, jika jatuh tempo tak dibayar, maka sistem otomatis mentransfer aset ke kreditur.
  • Blockchain escrow: diperlukan lembaga sebagai pihak pengawas eksekusi aset kripto, menyatakan syarat terpenuhi atau tidak.

Model ini menuntut perubahan besar dalam hukum jaminan Indonesia, khususnya:

  • Pengakuan terhadap digital collateral,
  • Peran notaris atau lembaga fintech dalam pengawasan eksekusi digital,
  • Sinkronisasi dengan sistem keuangan digital OJK.

 

VI.    Tantangan dan Rekomendasi Regulasi

A. Kekosongan Norma Saat Ini

Saat ini, tidak ada satupun undang-undang yang secara eksplisit mengatur:

  • Bagaimana kripto dijadikan jaminan?
  • Bagaimana proses pengikatan dan eksekusi dilakukan secara legal?
  • Siapa yang bertanggung jawab sebagai custodian?

B. Rekomendasi Reformulasi

  1. Pengakuan terhadap kripto sebagai objek jaminan digital

Diperlukan perubahan dalam UU Jaminan Fidusia atau peraturan baru dalam bentuk PP/POJK untuk mencakup aset keuangan digital.

  1. Pembentukan lembaga kustodian aset digital tersertifikasi OJK

Custodian wajib memiliki standar keamanan, audit, dan perlindungan investor.

  1. Prosedur eksekusi digital via pengawasan fintech/notaris digital

Diperlukan norma baru yang memungkinkan smart contract digunakan secara legal dan sah.

  1. SandBox regulasi untuk uji coba model-model jaminan kripto

OJK dan Bappebti dapat bersinergi membuat zona eksperimen (sandbox) bagi platform pemberi pinjaman berbasis aset kripto.

 

VII.   Penutup

Masa depan sistem jaminan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada aset fisik. Kripto sebagai aset keuangan digital menawarkan potensi besar untuk digunakan sebagai agunan, namun membutuhkan kerangka hukum yang adaptif dan perlindungan kreditur yang memadai. Custody bukan sekadar masalah teknis, tapi juga menyangkut legitimasi hukum dan kepercayaan publik.

Sudah saatnya Indonesia mempersiapkan kerangka eksekusi digital yang sah dan aman, bukan hanya untuk mendukung perkembangan teknologi, tetapi juga untuk menjaga integritas dan kepastian hukum dalam dunia keuangan masa depan.

 


Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia