
I. Pendahuluan
Kehadiran aset kripto
dalam dinamika keuangan global telah melampaui fungsinya sebagai instrumen
investasi spekulatif. Saat ini, aset kripto juga mulai digunakan sebagai jaminan
dalam perjanjian utang, mirip dengan agunan konvensional seperti tanah,
kendaraan, atau deposito. Namun berbeda dengan jaminan fisik, kripto adalah
aset digital yang terdesentralisasi dan tidak memiliki eksistensi fisik ataupun
yurisdiksi domisili yang pasti. Oleh karena itu, pengalihan dan eksekusi
jaminan kripto membutuhkan pendekatan hukum dan teknologi baru.
Salah satu aspek
krusial adalah konsep custody, yaitu penyimpanan dan penguasaan aset
digital selama masa perjanjian berlangsung. Dalam konteks ini, hak dan
perlindungan kreditur bergantung sepenuhnya pada struktur crypto custody
yang aman dan andal. Sayangnya, hingga kini, Indonesia belum memiliki kerangka
hukum eksekusi yang spesifik untuk aset digital sebagai jaminan.
Tulisan ini akan
menjelajahi kebutuhan mendesak akan regulasi baru yang dapat mengintegrasikan
prinsip-prinsip jaminan konvensional ke dalam arsitektur digital, sekaligus
menjaga perlindungan hukum bagi kreditur dan debitur dalam ekosistem keuangan
kripto yang sedang berkembang.
II. Transisi dari Jaminan Konvensional ke
Digital
Dalam hukum perdata
Indonesia, jaminan dikenal melalui bentuk-bentuk seperti gadai (benda
bergerak), fidusia (benda bergerak termasuk tidak berwujud), hipotek (kapal dan pesawat terbang), dan hak
tanggungan (tanah dan bangunan). Semua bentuk tersebut memiliki satu kesamaan: adanya
pemisahan atau pengikatan hak atas objek jaminan untuk menjamin pemenuhan
utang.
Namun dalam konteks
aset kripto, jaminan tidak bisa diikat dengan cara yang sama. Kripto bukan
benda berwujud, tidak terdaftar, dan tidak dapat diserahkan
fisiknya seperti mobil atau emas. Bahkan dengan regulasi terkini (UU 4/2023 tentang P2SK), kripto telah dikategorikan sebagai aset keuangan digital,
bukan sekadar komoditas sebagaimana di era Bappebti.
Dengan perubahan ini,
diperlukan lompatan paradigma: dari jaminan berbasis fisik dan
administratif, menuju jaminan yang berbasis digital-native dan terotomatisasi.
Konsekuensinya, hukum jaminan kita juga harus berkembang: dari hak jaminan menjadi smart contract berbasis teknologi blockchain.
III. Urgensi Crypto Custody dalam
Struktur Jaminan
A. Apa Itu Crypto Custody?
Secara sederhana, crypto
custody adalah cara penyimpanan aset kripto oleh pihak ketiga (custodian),
yang dipercaya menjaga aset secara aman, mirip dengan fungsi penitipan efek di
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Dalam praktik
internasional, terdapat dua model utama:
- Custody terpusat (centralized): penyimpanan aset dilakukan oleh
exchange atau lembaga kustodian tersertifikasi, misalnya Coinbase Custody.
- Custody terdesentralisasi
(decentralized): penyimpanan
aset berada dalam wallet pribadi, dilindungi private key dan
kontrol multisignature.
B. Fungsi Custody
dalam Skema Jaminan
Dalam perjanjian jaminan berbasis kripto,
aspek custody menjadi krusial karena:
- Siapa yang
menguasai aset selama pinjaman berjalan?Bila aset tetap dikuasai debitur, maka risiko moral hazard tinggi. Bila dikuasai kreditur, perlu sistem kontrol agar tidak disalahgunakan.
- Bagaimana cara
menjamin bahwa aset tidak dialihkan ke wallet lain secara diam-diam?
Maka dibutuhkan sistem escrow atau mekanisme penguncian (lock-in) berbasis smart contract. - Bagaimana
menghindari kehilangan akibat peretasan?Maka lembaga kustodian harus memiliki sistem keamanan berlapis dan sertifikasi standar internasional (misal: ISO/IEC 27001, SOC 2).
C. Model Ideal:
Multi-sig & Escrow Otomatis
Salah satu model custody yang relevan untuk
jaminan adalah multisignature wallet, di mana pengalihan aset
membutuhkan tanda tangan bersama antara:
- Debitur,
- Kreditur,
- dan Custodian
pihak ketiga (notaris digital, misalnya).
Model ini memungkinkan kontrol bersama dan
mencegah akses unilateral terhadap aset selama masa pinjaman.
IV. Perlindungan
Kreditur di Dunia Digital
A. Hak Kreditur:
Menguasai atau Mengikat?
Dalam hukum jaminan,
perbedaan antara penguasaan fisik dan pengikatan administratif memiliki
konsekuensi hukum yang besar. Namun dalam dunia digital, penguasaan atas kripto
hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki private key. Oleh sebab itu,
jika tidak ada sistem custody yang tepercaya, maka perlindungan kreditur sangat
rentan.
Solusi yang dapat digunakan:
- Penguncian otomatis melalui smart
contract, yang hanya
dapat dibuka bila debitur melunasi kewajibannya.
- Escrow wallet
dengan otorisasi bersama, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
B. Siapa Bertanggung
Jawab Jika Aset Hilang?
Jika terjadi
kehilangan akibat peretasan, tanggung jawabnya tergantung pada siapa yang
menguasai dan bagaimana pengelolaan custody dilakukan. Maka perlu:
- Asuransi aset
digital, sebagaimana
berlaku di beberapa platform luar negeri.
- Audit berkala dan
transparansi operasional dari pihak custodian.
V. Menuju
Kerangka Eksekusi Digital
A. Tantangan Eksekusi
Konvensional
Dalam eksekusi jaminan konvensional,
diperlukan:
- Sertifikat atau
bukti kepemilikan yang terdaftar,
- Lelang melalui
pengadilan atau KPKNL (parate eksekusi),
- Pemberitahuan
resmi ke debitur.
Namun kripto:
- Tidak memiliki
registrasi negara,
- Tidak bisa
dilelang melalui sistem reguler,
- Bisa dialihkan
tanpa notifikasi bila dikuasai sepihak.
B. Solusi: Eksekusi
Melalui Protokol Digital
Konsep eksekusi bisa diotomatisasi dengan
pendekatan:
- Self-executing smart contract: perjanjian pinjam-meminjam diatur
dalam kode, jika jatuh tempo tak dibayar, maka sistem otomatis mentransfer
aset ke kreditur.
- Blockchain escrow: diperlukan lembaga sebagai pihak pengawas eksekusi aset kripto, menyatakan syarat terpenuhi atau tidak.
Model ini menuntut perubahan besar dalam
hukum jaminan Indonesia, khususnya:
- Pengakuan
terhadap digital collateral,
- Peran notaris
atau lembaga fintech dalam pengawasan eksekusi digital,
- Sinkronisasi
dengan sistem keuangan digital OJK.
VI. Tantangan
dan Rekomendasi Regulasi
A. Kekosongan Norma
Saat Ini
Saat ini, tidak ada satupun undang-undang
yang secara eksplisit mengatur:
- Bagaimana kripto
dijadikan jaminan?
- Bagaimana proses
pengikatan dan eksekusi dilakukan secara legal?
- Siapa yang
bertanggung jawab sebagai custodian?
B. Rekomendasi
Reformulasi
- Pengakuan terhadap kripto sebagai objek
jaminan digital
Diperlukan perubahan dalam UU Jaminan Fidusia
atau peraturan baru dalam bentuk PP/POJK untuk mencakup aset keuangan digital.
- Pembentukan lembaga kustodian aset
digital tersertifikasi OJK
Custodian wajib memiliki standar keamanan, audit, dan perlindungan
investor.
- Prosedur eksekusi digital via pengawasan
fintech/notaris digital
Diperlukan norma baru yang memungkinkan smart
contract digunakan secara legal dan sah.
- SandBox regulasi
untuk uji coba model-model jaminan kripto
OJK dan Bappebti dapat bersinergi membuat
zona eksperimen (sandbox) bagi platform pemberi pinjaman berbasis aset kripto.
VII. Penutup
Masa depan sistem
jaminan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada aset fisik. Kripto sebagai aset
keuangan digital menawarkan potensi besar untuk digunakan sebagai agunan, namun
membutuhkan kerangka hukum yang adaptif dan perlindungan kreditur yang memadai.
Custody bukan sekadar masalah teknis, tapi juga menyangkut legitimasi hukum dan
kepercayaan publik.
Sudah saatnya
Indonesia mempersiapkan kerangka eksekusi digital yang sah dan aman,
bukan hanya untuk mendukung perkembangan teknologi, tetapi juga untuk menjaga
integritas dan kepastian hukum dalam dunia keuangan masa depan.
comment 0 Comment
more_vert