
Pendahuluan: Tongkat
Estafet Itu Kini di Tangan OJK
Perjalanan kripto di
Indonesia terus bergerak menuju arah yang semakin institusional. Setelah
bertahun-tahun berada di bawah pengawasan Bappebti sebagai komoditas digital,
kripto kini bersiap masuk ke fase baru: menjadi bagian dari sistem jasa
keuangan nasional di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perubahan ini bukan
sekadar soal regulasi. Ia menandai cara pandang negara terhadap kripto, bukan
lagi sekadar barang yang diperdagangkan di bursa komoditas, melainkan bagian
dari instrumen finansial yang harus tunduk pada prinsip-prinsip kehati-hatian,
transparansi, dan perlindungan konsumen.
Lantas, seperti apa
kewenangan OJK terhadap kripto? Apakah ini akan memperkuat ekosistem atau
justru mempersulit pelaku? Dan apa bedanya pendekatan OJK dengan Bappebti? Mari
kita telusuri bersama.
Ruang Lingkup
Kewenangan OJK Pasca 2025
Perpindahan kewenangan
ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Dalam Pasal 9 dan 213 UU PPSK, OJK
diberikan mandat untuk mengatur dan mengawasi aktivitas aset keuangan digital,
termasuk kripto.
Setelah masa transisi
selama 2 tahun (hingga Januari 2025), seluruh aktivitas yang terkait dengan
aset keuangan digital akan masuk ke ranah OJK. Ini mencakup:
· Penerbitan dan pengelolaan aset keuangan
digital (termasuk kripto)
· Penyelenggaraan bursa dan perdagangan aset
keuangan digital
· Layanan kustodian (penyimpanan aset digital)
· Infrastruktur pendukung seperti e-wallet,
clearing, dan settlement
Dengan masuknya aset
kripto ke dalam klasifikasi “aset keuangan digital”, OJK akan menerapkan
standar pengawasan serupa seperti pada industri perbankan, pasar modal, dan
asuransi.
Dari Bappebti ke OJK:
Dua Pendekatan yang Berbeda
Sebelum masuk ke OJK,
kripto diatur oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi) sebagai komoditas digital yang bisa diperdagangkan. Fokus
pengawasannya adalah pada:
· Perdagangan spot dan derivatif
· Kegiatan bursa berjangka
· Perlindungan terhadap spekulasi harga
Bappebti mengatur siapa yang boleh menjadi
pedagang fisik aset kripto (exchange), dan mengelola Daftar Aset Kripto Legal
yang bisa diperjualbelikan di Indonesia.
Namun pendekatan OJK akan sangat berbeda. OJK
melihat kripto bukan hanya sebagai objek perdagangan, tetapi juga sebagai
instrumen keuangan yang membawa implikasi sistemik.
Contoh perbedaan pendekatan:
Aspek |
Bappebti |
OJK |
Fokus |
Perdagangan komoditas |
Stabilitas sistem keuangan |
Registrasi |
Pedagang aset fisik (exchange) |
Lembaga jasa keuangan berbasis digital |
Perlindungan konsumen |
Umum |
Komprehensif dan berbasis prinsip
risk-based supervision |
Aset disetarakan dengan |
Komoditas |
Aset keuangan digital |
Artinya, kelak exchange kripto harus
bertransformasi menjadi entitas jasa keuangan yang terdaftar di OJK, tunduk
pada syarat permodalan, tata kelola, dan pelaporan berkala.
Visi OJK terhadap
Kripto dan Inklusi Keuangan Digital
OJK tidak memusuhi
kripto. Justru sebaliknya, OJK ingin memastikan bahwa kripto bisa berkembang
dengan aman, sehat, dan inklusif.
Dalam berbagai
pernyataannya, OJK menekankan bahwa kripto sebagai bagian dari aset keuangan
digital harus:
· Mendukung inklusi keuangan
· Memberikan nilai tambah bagi masyarakat
· Tidak mengancam stabilitas sistem keuangan
OJK juga sedang
mengembangkan kerangka pengaturan untuk Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
(ITSK). Di dalamnya, kripto dan teknologi blockchain akan menjadi bagian
penting dalam:
· Tokenisasi aset riil (seperti properti atau
saham)
· Smart contract dalam pembiayaan
· Transaksi lintas batas yang efisien
Namun semua itu harus berjalan dengan
prinsip:
· Transparansi dan perlindungan investor
· Auditabilitas dan rekam jejak transaksi
· Mitigasi risiko sistemik
Dampak Langsung bagi
Exchange, Custodian, dan Investor Retail
Perpindahan ke OJK tentu membawa dampak
besar, terutama bagi pelaku industri.
1. Exchange Kripto
· Harus mengurus izin ulang sebagai Lembaga
Jasa Keuangan Digital
· Dikenai syarat permodalan dan kelayakan
pemilik
· Wajib memisahkan dana nasabah dan dana
operasional
· Harus menyiapkan sistem pelaporan dan audit
rutin
2. Custodian Wallet
· Diperlakukan seperti kustodian efek di pasar
modal
· Harus menjaga keamanan, enkripsi, dan
redundansi penyimpanan
· Mungkin diwajibkan bermitra dengan bank
kustodian atau entitas khusus
3. Investor Retail
· Akan mendapatkan perlindungan lebih,
termasuk:
o Klarifikasi risiko investasi
o Penanganan jika exchange bangkrut
o Peluang masuk ke dalam ekosistem investasi
nasional
Namun perlu diingat,
ini juga bisa membawa dampak seperti biaya tambahan, pembatasan leverage, atau
kewajiban verifikasi identitas yang lebih ketat.
Peluang dan Ancaman terhadap Stabilitas Sistem Keuangan
Dengan kripto masuk ke
dalam sistem keuangan formal, Indonesia sedang membuka jalan untuk inovasi,
tapi juga harus waspada terhadap dampaknya.
1. Peluang:
· Tokenisasi aset riil: properti, surat berharga, bahkan hasil bumi
· Pembiayaan mikro berbasis smart contract
· Inklusi keuangan bagi masyarakat unbanked
2. Ancaman:
· Volatilitas harga kripto yang ekstrem bisa memicu panic selling
· Pencucian uang (AML/CTF) via aset digital anonim
· Shadow banking: munculnya produk mirip bank di luar
regulasi
Untuk itu, OJK perlu:
· Berkoordinasi erat dengan Bank Indonesia,
PPATK, dan Kominfo
· Mengembangkan Regulatory Technology
(RegTech) untuk pengawasan real-time
· Meningkatkan literasi keuangan digital secara
masif
Penutup: Menuju Ekosistem Kripto yang Terintegrasi dan Terkendali
Perpindahan pengawasan
kripto ke OJK adalah bagian dari transformasi besar dalam sistem keuangan
Indonesia. Ini bukan hanya soal siapa yang mengawasi, tetapi bagaimana negara
membingkai kripto sebagai bagian dari masa depan ekonomi digital.
Di satu sisi, OJK
membawa harapan akan tata kelola yang lebih kuat dan perlindungan investor yang
lebih baik. Di sisi lain, industri harus siap menyesuaikan diri dengan regulasi
yang lebih ketat dan struktural.
Yang pasti, masa depan
kripto di Indonesia tidak lagi sekadar tren. Ia telah masuk ke dalam sistem.
Dan sistem itu harus bisa mengakomodasi inovasi tanpa mengorbankan stabilitas.
Regulasi yang tepat adalah kuncinya, dan OJK kini memegang kendali itu.
Tulisan
ini merupakan bagian kedua dari seri “Kripto dan Masa Depan Regulasi Keuangan
di Indonesia”. Nantikan seri berikutnya: "Kripto sebagai Jaminan Hutang:
Kekosongan Hukum dan Peluang Inovasi"
comment 0 Comment
more_vert