
Di banyak fakultas hukum di Indonesia, satu fenomena ini hampir selalu berulang: ketika pendaftaran program magister dibuka, Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) hampir selalu menjadi yang paling diminati. Jumlah peminatnya bisa jauh mengalahkan program magister hukum lain, bahkan yang fokus pada bidang strategis seperti hukum bisnis, hukum pidana, atau hukum administrasi negara.
Fakta ini bukan
sekadar statistik penerimaan mahasiswa. Ia merefleksikan persepsi publik
tentang profesi notaris: mapan, bergengsi, dan (katanya) menjanjikan masa depan
yang aman secara finansial. Namun di balik daya tarik tersebut, ada pertanyaan
besar: apakah semua yang masuk MKn benar-benar terdorong oleh panggilan
profesi, atau sekadar memburu kemapanan tanpa jerih payah?
1. MKn dan Daya Tarik Kemapanan
Magister Kenotariatan
memang dirancang sebagai jalur akademik untuk menjadi notaris. Profesi ini
memiliki posisi istimewa dalam sistem hukum Indonesia, pejabat umum yang diberi
kewenangan membuat akta otentik, yang kekuatan pembuktiannya sempurna di mata hukum.
Kombinasi antara
kewenangan tinggi, permintaan pasar yang stabil, dan citra sosial yang
mentereng membuat MKn menjadi magnet. Banyak yang melihatnya sebagai
tiket menuju profesi yang “terjamin”:
- Pendapatan relatif stabil, bahkan di daerah.
- Status sosial yang diakui dan dihormati.
- Kemandirian kerja, tanpa harus tunduk pada struktur
perusahaan atau instansi.
- Jam kerja yang fleksibel (setidaknya dalam persepsi awam).
Tidak heran jika
setiap tahun, MKn diserbu peminat.
2. Antara Panggilan dan Obsesi
Di sinilah titik
kritisnya.
Tidak semua mahasiswa MKn datang dengan motivasi yang sama. Sebagian memang
memiliki panggilan profesi, ingin menjadi notaris yang menjaga
integritas hukum, memahami substansi akta, dan melindungi kepentingan para
pihak. Namun, tidak sedikit pula yang masuk hanya karena:
- Melihat notaris sebagai “profesi
aman”.
- Tergiur cerita sukses senior atau
kerabat.
- Menganggap ini sebagai jalan pintas
menuju status sosial dan finansial.
Masalahnya, motivasi
yang dangkal sering berujung pada praktik profesional yang dangkal pula. Jika
tujuan awalnya hanya “menjadi mapan”, maka semangat untuk menggali ilmu,
memahami esensi hukum, dan memegang teguh integritas akan cenderung rendah.
3. Dampak pada Kualitas Profesi
Ketika profesi notaris
didominasi oleh mereka yang hanya mengejar kemapanan, kualitas profesi bisa
tergerus secara perlahan. Beberapa gejala yang muncul:
- Reduksi peran menjadi formalitas
Notaris hanya memeriksa dokumen secara administratif, membacakan akta sekadarnya, dan menandatangani. Fungsi substantif, seperti memastikan isi akta adil dan dipahami para pihak, menjadi nomor dua, atau bahkan hilang sama sekali. - Maraknya pelanggaran prosedur
Mulai dari “pembacaan simbolik” hingga fenomena akta berjalan, yang membuka celah bagi kejahatan terorganisir seperti mafia tanah. - Menurunnya inovasi
Ketika mentalitas yang dibawa adalah “asal mapan”, dorongan untuk berinovasi, misalnya memanfaatkan teknologi cyber notary atau membangun layanan hukum yang proaktif, akan minim. - Krisis kepercayaan publik
Setiap kali kasus pelanggaran notaris mencuat, kepercayaan publik terkikis. Ini memperburuk citra profesi di mata masyarakat.
4. Perbedaan MKn dengan Program Magister Hukum Lain
Fenomena membludaknya
MKn juga memberi efek domino pada peta pendidikan hukum. Program magister lain
yang tidak berorientasi langsung pada profesi tertentu sering kesulitan menarik
mahasiswa. Padahal, bidang-bidang seperti hukum tata negara, hukum lingkungan,
atau hukum teknologi informasi sama pentingnya untuk membangun sistem hukum
yang sehat.
Dengan kata lain,
ketika minat mahasiswa hukum terkonsentrasi di MKn karena alasan kemapanan,
kita berisiko kehilangan talenta hukum di bidang-bidang lain yang juga krusial.
5. Mengembalikan MKn ke Tujuan Ideal
a.
Dari
Spesialis 1 ke Magister: Perubahan Penting
Hingga 1999,
pendidikan profesi notaris diselenggarakan dalam bentuk Spesialis 1 (Sp-1)
tanpa gelar akademik, hanya oleh enam universitas negeri: USU, UI, Unpad,
Undip, UGM, dan Unair. Model ini berfokus pada pembekalan keterampilan praktik
dan etika profesi.
Sejak tahun 2000,
formatnya berubah menjadi Magister Kenotariatan, sebuah jenjang akademik
yang berorientasi pada keilmuan. Perubahan ini membuka peluang lebih luas bagi
universitas di berbagai daerah untuk menyelenggarakan MKn, sehingga jumlah
lulusan meningkat pesat, diperkirakan mencapai ribuan setiap tahun.
b.
Peluang
dan Tantangan dari Minat Tinggi
Pertumbuhan jumlah
lulusan MKn memiliki dua sisi.
Di satu sisi, akses yang lebih luas memberi kesempatan bagi lebih banyak orang
untuk menempuh pendidikan lanjutan di bidang kenotariatan.
Namun di sisi lain, lonjakan ini menuntut perhatian serius agar kualitas
lulusan tetap terjaga. Persaingan yang semakin ketat menuntut setiap calon
notaris untuk tidak hanya mengandalkan ijazah, tetapi juga membangun reputasi,
integritas, dan keterampilan yang unggul.
c.
Upaya
Penataan yang Pernah Dilakukan
Perhatian terhadap
kualitas calon notaris bukanlah hal baru. Kementerian Hukum dan HAM pernah
berupaya mengendalikan lonjakan jumlah lulusan MKn melalui rencana moratorium
pembukaan program studi MKn baru.
Namun, kebijakan ini menuai penolakan dari Kementerian Pendidikan Nasional,
yang didukung oleh universitas-universitas penyelenggara MKn. Moratorium pun
akhirnya dibatalkan.
Tidak berhenti di
situ, Kemenkumham mencoba menerapkan uji kompetensi bagi calon notaris
sebelum pengangkatan sebagai filter tambahan. Sayangnya, kebijakan ini juga
tidak bertahan lama. Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur uji
kompetensi diajukan judicial review ke Mahkamah Agung dan dinyatakan
batal.
Kisah ini menunjukkan
bahwa penataan pendidikan profesi notaris adalah isu yang kompleks, melibatkan
banyak pemangku kepentingan, dan tidak bisa hanya diselesaikan melalui
kebijakan satu pihak saja.
6. Penutup: Profesi yang Layak Diperjuangkan
Menjadi notaris adalah
amanah besar. Kewenangan yang diberikan negara harus diimbangi dengan
integritas, kompetensi, dan kesadaran bahwa setiap tanda tangan bisa mengubah
nasib orang. Kemapanan mungkin datang sebagai konsekuensi, tetapi tidak boleh
menjadi tujuan utama.
Magister Kenotariatan
seharusnya menjadi pintu masuk bagi mereka yang siap menanggung amanah ini, bukan
sekadar jalur cepat menuju status sosial. Jika kita ingin profesi notaris tetap
terhormat, kita perlu memastikan bahwa yang duduk di balik meja peresmian akta
adalah orang-orang yang masuk MKn karena panggilan hati, bukan hanya obsesi
kemapanan.
Kalau Anda seorang
mahasiswa hukum, tanyakan pada diri sendiri:
Apakah saya masuk MKn untuk menjadi notaris yang menjaga keadilan, atau
hanya ingin menikmati kemapanan?
Jawaban itu akan
menentukan masa depan profesi ini.
comment 0 Comment
more_vert