MASIGNCLEAN101

Gelar Magister Kenotariatan - Antara Panggilan Profesi dan Obsesi Kemapanan

Gelar Magister Kenotariatan - Antara Panggilan Profesi dan Obsesi Kemapanan
Friday, August 8, 2025

 


Di banyak fakultas hukum di Indonesia, satu fenomena ini hampir selalu berulang: ketika pendaftaran program magister dibuka, Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) hampir selalu menjadi yang paling diminati. Jumlah peminatnya bisa jauh mengalahkan program magister hukum lain, bahkan yang fokus pada bidang strategis seperti hukum bisnis, hukum pidana, atau hukum administrasi negara.

Fakta ini bukan sekadar statistik penerimaan mahasiswa. Ia merefleksikan persepsi publik tentang profesi notaris: mapan, bergengsi, dan (katanya) menjanjikan masa depan yang aman secara finansial. Namun di balik daya tarik tersebut, ada pertanyaan besar: apakah semua yang masuk MKn benar-benar terdorong oleh panggilan profesi, atau sekadar memburu kemapanan tanpa jerih payah?

 

1. MKn dan Daya Tarik Kemapanan

Magister Kenotariatan memang dirancang sebagai jalur akademik untuk menjadi notaris. Profesi ini memiliki posisi istimewa dalam sistem hukum Indonesia, pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta otentik, yang kekuatan pembuktiannya sempurna di mata hukum.

Kombinasi antara kewenangan tinggi, permintaan pasar yang stabil, dan citra sosial yang mentereng membuat MKn menjadi magnet. Banyak yang melihatnya sebagai tiket menuju profesi yang “terjamin”:

  • Pendapatan relatif stabil, bahkan di daerah.
  • Status sosial yang diakui dan dihormati.
  • Kemandirian kerja, tanpa harus tunduk pada struktur perusahaan atau instansi.
  • Jam kerja yang fleksibel (setidaknya dalam persepsi awam).

Tidak heran jika setiap tahun, MKn diserbu peminat.

 

2. Antara Panggilan dan Obsesi

Di sinilah titik kritisnya.
Tidak semua mahasiswa MKn datang dengan motivasi yang sama. Sebagian memang memiliki panggilan profesi, ingin menjadi notaris yang menjaga integritas hukum, memahami substansi akta, dan melindungi kepentingan para pihak. Namun, tidak sedikit pula yang masuk hanya karena:

  • Melihat notaris sebagai “profesi aman”.
  • Tergiur cerita sukses senior atau kerabat.
  • Menganggap ini sebagai jalan pintas menuju status sosial dan finansial.

Masalahnya, motivasi yang dangkal sering berujung pada praktik profesional yang dangkal pula. Jika tujuan awalnya hanya “menjadi mapan”, maka semangat untuk menggali ilmu, memahami esensi hukum, dan memegang teguh integritas akan cenderung rendah.

 

3. Dampak pada Kualitas Profesi

Ketika profesi notaris didominasi oleh mereka yang hanya mengejar kemapanan, kualitas profesi bisa tergerus secara perlahan. Beberapa gejala yang muncul:

  1. Reduksi peran menjadi formalitas
    Notaris hanya memeriksa dokumen secara administratif, membacakan akta sekadarnya, dan menandatangani. Fungsi substantif, seperti memastikan isi akta adil dan dipahami para pihak, menjadi nomor dua, atau bahkan hilang sama sekali.
  2. Maraknya pelanggaran prosedur
    Mulai dari “pembacaan simbolik” hingga fenomena akta berjalan, yang membuka celah bagi kejahatan terorganisir seperti mafia tanah.
  3. Menurunnya inovasi
    Ketika mentalitas yang dibawa adalah “asal mapan”, dorongan untuk berinovasi, misalnya memanfaatkan teknologi cyber notary atau membangun layanan hukum yang proaktif, akan minim.
  4. Krisis kepercayaan publik
    Setiap kali kasus pelanggaran notaris mencuat, kepercayaan publik terkikis. Ini memperburuk citra profesi di mata masyarakat.

 

4. Perbedaan MKn dengan Program Magister Hukum Lain

Fenomena membludaknya MKn juga memberi efek domino pada peta pendidikan hukum. Program magister lain yang tidak berorientasi langsung pada profesi tertentu sering kesulitan menarik mahasiswa. Padahal, bidang-bidang seperti hukum tata negara, hukum lingkungan, atau hukum teknologi informasi sama pentingnya untuk membangun sistem hukum yang sehat.

Dengan kata lain, ketika minat mahasiswa hukum terkonsentrasi di MKn karena alasan kemapanan, kita berisiko kehilangan talenta hukum di bidang-bidang lain yang juga krusial.

 

5. Mengembalikan MKn ke Tujuan Ideal

a.     Dari Spesialis 1 ke Magister: Perubahan Penting

Hingga 1999, pendidikan profesi notaris diselenggarakan dalam bentuk Spesialis 1 (Sp-1) tanpa gelar akademik, hanya oleh enam universitas negeri: USU, UI, Unpad, Undip, UGM, dan Unair. Model ini berfokus pada pembekalan keterampilan praktik dan etika profesi.

Sejak tahun 2000, formatnya berubah menjadi Magister Kenotariatan, sebuah jenjang akademik yang berorientasi pada keilmuan. Perubahan ini membuka peluang lebih luas bagi universitas di berbagai daerah untuk menyelenggarakan MKn, sehingga jumlah lulusan meningkat pesat, diperkirakan mencapai ribuan setiap tahun.

 

b.     Peluang dan Tantangan dari Minat Tinggi

Pertumbuhan jumlah lulusan MKn memiliki dua sisi.
Di satu sisi, akses yang lebih luas memberi kesempatan bagi lebih banyak orang untuk menempuh pendidikan lanjutan di bidang kenotariatan.
Namun di sisi lain, lonjakan ini menuntut perhatian serius agar kualitas lulusan tetap terjaga. Persaingan yang semakin ketat menuntut setiap calon notaris untuk tidak hanya mengandalkan ijazah, tetapi juga membangun reputasi, integritas, dan keterampilan yang unggul.

 

c.      Upaya Penataan yang Pernah Dilakukan

Perhatian terhadap kualitas calon notaris bukanlah hal baru. Kementerian Hukum dan HAM pernah berupaya mengendalikan lonjakan jumlah lulusan MKn melalui rencana moratorium pembukaan program studi MKn baru.
Namun, kebijakan ini menuai penolakan dari Kementerian Pendidikan Nasional, yang didukung oleh universitas-universitas penyelenggara MKn. Moratorium pun akhirnya dibatalkan.

Tidak berhenti di situ, Kemenkumham mencoba menerapkan uji kompetensi bagi calon notaris sebelum pengangkatan sebagai filter tambahan. Sayangnya, kebijakan ini juga tidak bertahan lama. Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur uji kompetensi diajukan judicial review ke Mahkamah Agung dan dinyatakan batal.

Kisah ini menunjukkan bahwa penataan pendidikan profesi notaris adalah isu yang kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan tidak bisa hanya diselesaikan melalui kebijakan satu pihak saja.

 

6. Penutup: Profesi yang Layak Diperjuangkan

Menjadi notaris adalah amanah besar. Kewenangan yang diberikan negara harus diimbangi dengan integritas, kompetensi, dan kesadaran bahwa setiap tanda tangan bisa mengubah nasib orang. Kemapanan mungkin datang sebagai konsekuensi, tetapi tidak boleh menjadi tujuan utama.

Magister Kenotariatan seharusnya menjadi pintu masuk bagi mereka yang siap menanggung amanah ini, bukan sekadar jalur cepat menuju status sosial. Jika kita ingin profesi notaris tetap terhormat, kita perlu memastikan bahwa yang duduk di balik meja peresmian akta adalah orang-orang yang masuk MKn karena panggilan hati, bukan hanya obsesi kemapanan.

 

Kalau Anda seorang mahasiswa hukum, tanyakan pada diri sendiri:
Apakah saya masuk MKn untuk menjadi notaris yang menjaga keadilan, atau hanya ingin menikmati kemapanan?

Jawaban itu akan menentukan masa depan profesi ini.

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia