MASIGNCLEAN101

Notaris Tak Lagi Merumuskan Isi Akta Dan Hanya Mengesahkan (Ketika Akta Kehilangan Ruh Otentisitas)

Notaris Tak Lagi Merumuskan Isi Akta Dan Hanya Mengesahkan (Ketika Akta Kehilangan Ruh Otentisitas)
Wednesday, August 6, 2025

 


Dalam idealitas sistem hukum, notaris hadir bukan sekadar sebagai pelengkap administrasi, melainkan sebagai penjaga keadilan kontraktual. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), doktrin hukum, dan etika profesi menempatkan notaris sebagai pejabat negara yang memiliki tanggung jawab mengubah kehendak para pihak menjadi akta otentik, dokumen hukum yang mengikat secara formil dan substansial. Fungsi ini dibangun atas tiga pilar utama:

  1. Menjamin bahwa para pihak benar-benar memahami dan menghendaki isi akta.
  2. Merumuskan akta dalam bahasa hukum yang netral, jelas, dan otentik.
  3. Memberikan perlindungan hukum preventif melalui kehadiran pejabat publik yang independen dan profesional.

Namun semua nilai luhur itu kini mulai digerogoti oleh realitas praktik yang sekedar prosedur tanpa makna.

Di banyak kantor notaris hari ini, khususnya dalam transaksi dengan institusi keuangan besar seperti bank atau developer, draft akta disodorkan sepihak. Pihak bank, misalnya, membawa naskah perjanjian kredit yang sudah jadi, dengan ketentuan baku belasan bahkan puluhan halaman. Notaris tidak terlibat dalam penyusunan, tidak memiliki ruang mengubah, bahkan sering tidak memahami secara menyeluruh isi kontrak yang akan diaktakan.

Saat peresmian, naskah panjang itu tidak dibacakan seluruhnya, melainkan cukup disebut “sudah dibaca dan dipahami”, atau hanya diringkas. Para pihak kemudian diminta menandatangani dengan asumsi telah memahami dan sepakat, padahal bisa jadi tidak satu pasal pun mereka cerna dengan benar.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah:

Masihkah notaris menjalankan fungsi sebagaimana diidealkan undang-undang?

 

Formalisasi Tanpa Substansi: Ketimpangan yang Mengkhawatirkan

UUJN memang memuat berbagai kewajiban etis dan formil, seperti pembacaan akta, kehadiran para pihak, dan penyusunan minuta. Tetapi tidak ada pasal eksplisit yang mewajibkan notaris memahami substansi akta secara utuh atau melarang akta “copy-paste”. Di sinilah letak celah normatif: ketika tanggung jawab substantif dibiarkan menjadi opsional, sedangkan otentisitas tetap diakui hanya karena prosedur formil terpenuhi.

Akibatnya, terjadi ketimpangan antara bentuk dan isi:

  • Akta tetap sah sebagai akta otentik,
  • Tapi tidak mencerminkan kehendak bebas secara aktual,
  • Dan ironisnya, digunakan untuk membuktikan perjanjian yang tidak pernah benar-benar dimengerti oleh pihak-pihaknya.

 

Reformasi Norma: Mengembalikan Substansi ke Dalam Otentisitas

Jika akar persoalan terletak pada ketiadaan norma eksplisit dalam UU Jabatan Notaris (UUJN) mengenai kewajiban membaca dan memahami isi akta secara substansial, maka jalan keluarnya pun harus melalui reformulasi undang-undang itu sendiri.

Saat ini, ketentuan dalam UUJN lebih banyak berfokus pada prosedur administratif. Namun, semangat dari akta otentik adalah bahwa:

Notaris menjadi penjamin bahwa isi akta tidak hanya sah secara hukum, tetapi benar-benar mencerminkan kehendak para pihak dalam keadaan sadar dan bebas dari paksaan.

Oleh karena itu, reformasi UUJN idealnya menyasar tiga norma utama berikut:

1. Kewajiban Memahami Substansi Akta

“Notaris wajib memahami secara substansial isi dari setiap akta yang dibuatnya dan bertanggung jawab terhadap kejelasan rumusan hukum dalam akta tersebut.”

📌 Menutup celah praktik copy-paste tanpa verifikasi.

 

2. Pembacaan Tidak Boleh Hanya Simbolik

“Pembacaan akta oleh Notaris dilakukan secara menyeluruh atau setidaknya pada bagian-bagian yang menimbulkan akibat hukum penting, berat sebelah, atau memuat klausul baku.”

📌 Mencegah praktik pembacaan “asal formal”.

 

3. Sanksi terhadap Akta yang Tidak Dipahami Notaris

“Notaris yang dengan sengaja membacakan akta tanpa memahami isinya, atau tidak menjamin bahwa isi akta dipahami para pihak, dapat dikenai sanksi administratif berat atau pencabutan sementara jabatan.”

📌 Menjadikan pelanggaran fungsi substantif sebagai kesalahan profesional, bukan hanya etik.

 

Formalisasi Tanpa Fungsi: Lalu Apa Bedanya dengan Notary Public?

Jika fungsi notaris di Indonesia hari ini menyusut menjadi sekadar:

  • Mengesahkan tanda tangan,
  • Membacakan ringkasan isi akta,
  • Menyimpan minuta dan menyebut akta “sudah dipahami”,

… maka wajar muncul pertanyaan:

Apa bedanya dengan notary public di negara-negara sistem common law seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Australia?

🔍 Notary Public di Sistem Common Law:

  • Bukan pejabat negara, melainkan individu yang mendapat lisensi terbatas.
  • Hanya menyaksikan penandatanganan dokumen dan memverifikasi identitas.
  • Tidak menyusun isi kontrak, tidak memberi jaminan hukum atas substansi.

🧩 Notaris di Indonesia (Civil Law):

  • Pejabat umum yang membuat akta otentik dengan kekuatan pembuktian sempurna.
  • Seharusnya juga bertanggung jawab atas substansi dan bentuk akta.

Namun dalam praktik:

  • Ketika notaris hanya mengesahkan draft pihak tertentu, tanpa pemahaman dan partisipasi substantif,
  • Ketika pembacaan akta hanya formalitas mulut, bukan penyampaian makna hukum,
  • Ketika isi akta tidak lagi dirumuskan oleh notaris tapi oleh pihak luar (bank, korporasi),

… maka fungsi notaris de facto sudah bergeser menjadi notary public gaya common law, tapi dengan status formal sebagai “pejabat” dan imbalan profesi yang jauh lebih tinggi.

➡️ Konsekuensinya: masyarakat membayar mahal untuk otentisitas yang hanya formal, tidak substantif.

 

Penutup: Menyelamatkan Makna Otentisitas

Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan hukum yang substantif, bukan hanya legalisasi formalitas. Notaris sebagai pejabat umum tidak boleh kehilangan ruhnya sebagai pengayom dan penjamin keadilan kontraktual. UUJN harus direvisi, bukan hanya untuk menyempurnakan mekanisme administratif, tapi untuk mengembalikan profesi ini ke dalam marwah substansi hukum yang adil dan transparan.

Tanpa reformasi norma, maka jabatan notaris hanya akan terus menyusut menjadi ritual legal tanpa makna, dibayar mahal, tapi tak lagi dipercaya.

 

📣 Apakah notaris hari ini hanya ‘penonton mewah’ dalam skenario hukum yang disusun pihak kuat?
Jika Anda tidak setuju atau justru sepakat tuliskan alasannya.
Saatnya diskusi terbuka, bukan diam atau hanya salin-tempel!

🖋️ Saya menulis ini karena resah. Tapi mungkin Anda punya pandangan berbeda.
Apakah saya terlalu skeptis? Atau justru Anda punya pengalaman yang lebih parah?
Yuk, bagikan cerita atau kritik Anda. Kita perbaiki sistem ini bersama.

✍️ Tulisan ini terbuka untuk dikritik, dilengkapi, atau bahkan disanggah.
Apa pendapat Anda tentang urgensi reformasi UUJN dan posisi notaris hari ini?
Silakan diskusikan di kolom komentar atau beri tautan tulisan tanggapan Anda.


Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia