
Dalam idealitas sistem
hukum, notaris hadir bukan sekadar sebagai pelengkap administrasi, melainkan
sebagai penjaga keadilan kontraktual. Undang-Undang Jabatan Notaris
(UUJN), doktrin hukum, dan etika profesi menempatkan notaris sebagai pejabat
negara yang memiliki tanggung jawab mengubah kehendak para pihak menjadi
akta otentik, dokumen hukum yang mengikat secara formil dan substansial. Fungsi
ini dibangun atas tiga pilar utama:
- Menjamin bahwa para pihak benar-benar
memahami dan menghendaki isi akta.
- Merumuskan akta dalam bahasa hukum yang
netral, jelas, dan otentik.
- Memberikan perlindungan hukum preventif
melalui kehadiran pejabat publik yang independen dan profesional.
Namun semua nilai
luhur itu kini mulai digerogoti oleh realitas praktik yang sekedar prosedur
tanpa makna.
Di banyak kantor
notaris hari ini, khususnya dalam transaksi dengan institusi keuangan besar
seperti bank atau developer, draft akta disodorkan sepihak. Pihak bank,
misalnya, membawa naskah perjanjian kredit yang sudah jadi, dengan ketentuan
baku belasan bahkan puluhan halaman. Notaris tidak terlibat dalam penyusunan,
tidak memiliki ruang mengubah, bahkan sering tidak memahami secara
menyeluruh isi kontrak yang akan diaktakan.
Saat peresmian, naskah
panjang itu tidak dibacakan seluruhnya, melainkan cukup disebut “sudah
dibaca dan dipahami”, atau hanya diringkas. Para pihak
kemudian diminta menandatangani dengan asumsi telah memahami dan sepakat, padahal
bisa jadi tidak satu pasal pun mereka cerna dengan benar.
Pertanyaan yang
mengemuka kemudian adalah:
Masihkah notaris
menjalankan fungsi sebagaimana diidealkan undang-undang?
Formalisasi Tanpa Substansi: Ketimpangan yang
Mengkhawatirkan
UUJN memang memuat
berbagai kewajiban etis dan formil, seperti pembacaan akta, kehadiran para
pihak, dan penyusunan minuta. Tetapi tidak ada pasal eksplisit yang
mewajibkan notaris memahami substansi akta secara utuh atau melarang akta
“copy-paste”. Di sinilah letak celah normatif: ketika tanggung jawab
substantif dibiarkan menjadi opsional, sedangkan otentisitas tetap
diakui hanya karena prosedur formil terpenuhi.
Akibatnya, terjadi ketimpangan
antara bentuk dan isi:
- Akta tetap sah sebagai akta otentik,
- Tapi tidak mencerminkan kehendak bebas
secara aktual,
- Dan ironisnya, digunakan untuk
membuktikan perjanjian yang tidak pernah benar-benar dimengerti oleh
pihak-pihaknya.
Reformasi Norma: Mengembalikan Substansi ke
Dalam Otentisitas
Jika akar persoalan
terletak pada ketiadaan norma eksplisit dalam UU Jabatan Notaris (UUJN)
mengenai kewajiban membaca dan memahami isi akta secara substansial, maka jalan
keluarnya pun harus melalui reformulasi undang-undang itu sendiri.
Saat ini, ketentuan
dalam UUJN lebih banyak berfokus pada prosedur administratif. Namun,
semangat dari akta otentik adalah bahwa:
Notaris menjadi
penjamin bahwa isi akta tidak hanya sah secara hukum, tetapi benar-benar
mencerminkan kehendak para pihak dalam keadaan sadar dan bebas dari paksaan.
Oleh karena itu,
reformasi UUJN idealnya menyasar tiga norma utama berikut:
1. Kewajiban Memahami Substansi Akta
“Notaris wajib
memahami secara substansial isi dari setiap akta yang dibuatnya dan bertanggung
jawab terhadap kejelasan rumusan hukum dalam akta tersebut.”
📌 Menutup celah praktik
copy-paste tanpa verifikasi.
2. Pembacaan Tidak Boleh Hanya Simbolik
“Pembacaan akta oleh
Notaris dilakukan secara menyeluruh atau setidaknya pada bagian-bagian yang
menimbulkan akibat hukum penting, berat sebelah, atau memuat klausul baku.”
📌 Mencegah praktik
pembacaan “asal formal”.
3. Sanksi terhadap Akta yang Tidak Dipahami Notaris
“Notaris yang dengan
sengaja membacakan akta tanpa memahami isinya, atau tidak menjamin bahwa isi
akta dipahami para pihak, dapat dikenai sanksi administratif berat atau
pencabutan sementara jabatan.”
📌 Menjadikan
pelanggaran fungsi substantif sebagai kesalahan profesional, bukan hanya etik.
Formalisasi Tanpa Fungsi: Lalu Apa Bedanya
dengan Notary Public?
Jika fungsi notaris di
Indonesia hari ini menyusut menjadi sekadar:
- Mengesahkan tanda tangan,
- Membacakan ringkasan isi akta,
- Menyimpan minuta dan menyebut akta
“sudah dipahami”,
… maka wajar muncul
pertanyaan:
Apa bedanya dengan notary public di negara-negara sistem common
law seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Australia?
🔍 Notary Public di Sistem Common Law:
- Bukan pejabat negara, melainkan individu
yang mendapat lisensi terbatas.
- Hanya menyaksikan penandatanganan
dokumen dan memverifikasi identitas.
- Tidak menyusun isi kontrak, tidak
memberi jaminan hukum atas substansi.
🧩 Notaris di Indonesia (Civil Law):
- Pejabat umum yang membuat akta otentik
dengan kekuatan pembuktian sempurna.
- Seharusnya juga bertanggung jawab atas substansi
dan bentuk akta.
Namun dalam praktik:
- Ketika notaris hanya mengesahkan
draft pihak tertentu, tanpa pemahaman dan partisipasi substantif,
- Ketika pembacaan akta hanya
formalitas mulut, bukan penyampaian makna hukum,
- Ketika isi akta tidak lagi dirumuskan
oleh notaris tapi oleh pihak luar (bank, korporasi),
… maka fungsi
notaris de facto sudah bergeser menjadi notary public gaya common law, tapi
dengan status formal sebagai “pejabat” dan imbalan profesi yang jauh lebih
tinggi.
➡️ Konsekuensinya: masyarakat
membayar mahal untuk otentisitas yang hanya formal, tidak substantif.
Penutup: Menyelamatkan Makna Otentisitas
Masyarakat berhak
mendapatkan perlindungan hukum yang substantif, bukan hanya legalisasi
formalitas. Notaris sebagai pejabat umum tidak boleh kehilangan ruhnya sebagai
pengayom dan penjamin keadilan kontraktual. UUJN harus direvisi, bukan
hanya untuk menyempurnakan mekanisme administratif, tapi untuk mengembalikan
profesi ini ke dalam marwah substansi hukum yang adil dan transparan.
Tanpa reformasi norma,
maka jabatan notaris hanya akan terus menyusut menjadi ritual legal tanpa
makna, dibayar mahal, tapi tak lagi dipercaya.
Jika Anda tidak setuju atau justru sepakat tuliskan alasannya.
Saatnya diskusi terbuka, bukan diam atau hanya salin-tempel!
Apakah saya terlalu skeptis? Atau justru Anda punya pengalaman yang lebih parah?
Yuk, bagikan cerita atau kritik Anda. Kita perbaiki sistem ini bersama.
Apa pendapat Anda tentang urgensi reformasi UUJN dan posisi notaris hari ini?
Silakan diskusikan di kolom komentar atau beri tautan tulisan tanggapan Anda.
comment 0 Comment
more_vert