MASIGNCLEAN101

Publisitas PT, Antara Kepastian Hukum dan Komersialisasi

Publisitas PT, Antara Kepastian Hukum dan Komersialisasi
Thursday, August 21, 2025

 


Salah satu asas penting dalam hukum perseroan adalah publisitas. Perseroan Terbatas (PT) baru diakui sebagai badan hukum jika telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM serta diumumkan agar diketahui pihak ketiga. Prinsip ini sederhana: status dan perubahan PT harus terbuka, supaya siapa pun yang berhubungan dengan PT tidak dirugikan.

Namun, dalam praktik, publisitas PT di Indonesia justru menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, sudah ada Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU Online) yang modern, real-time, dan bisa diakses publik. Di sisi lain, UUPT masih mewajibkan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI), yang pengelolaannya diserahkan kepada Percetakan Negara RI (PNRI).

 

Publisitas Ganda: AHU dan TBNRI

Publisitas melalui AHU sudah cukup memadai. Notaris dan masyarakat bisa mengecek status PT, akta pendirian, susunan direksi-komisaris, hingga perubahan modal secara cepat. Dalam era digital, inilah yang sebenarnya dimaksud dengan keterbukaan.

Namun, kewajiban pengumuman di TBNRI tetap dipertahankan. Pasal 30 UUPT masih menyebut “Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara.” Padahal, siapa di zaman sekarang yang benar-benar membuka TBNRI cetak untuk mencari informasi PT? Praktiknya hampir nihil.

 

Tekanan yang Dialami Notaris

Masalah makin pelik ketika PNRI, yang kini berstatus BUMN, berorientasi pada profit. Tidak lagi sekadar menjalankan fungsi publik, PNRI memosisikan TBNRI sebagai produk komersial.

Banyak notaris mendapat email teguran dari PNRI agar setiap permohonan PT, baik pengesahan maupun perubahan, harus order cetak TBNRI. Jika tidak, seolah-olah notaris dianggap melanggar kewajiban hukum. Padahal, jika dicermati, norma itu mewajibkan Menteri, bukan notaris atau masyarakat.

 

Ketimpangan dan Beban Biaya

Di titik inilah publisitas PT terasa problematis.

  • Dari segi hukum, pengesahan di AHU sudah cukup untuk melahirkan kepastian hukum.
  • Dari segi fungsi, TBNRI nyaris tidak dipakai masyarakat luas.
  • Dari segi ekonomi, notaris dan klien harus menanggung biaya tambahan untuk sesuatu yang nilainya minim.

Publisitas ganda akhirnya tidak lagi sekadar “formalitas hukum”, tapi berubah menjadi instrumen komersialisasi.

 

Saatnya Revisi UUPT

Jika tujuan awal publisitas adalah kepastian hukum, maka sudah waktunya Indonesia menata ulang sistemnya. Cukup AHU yang menjadi sumber kebenaran tunggal. Publikasi di TBNRI bisa diposisikan sebagai arsip, bukan kewajiban yang membebani masyarakat.

Dalam konteks reformasi hukum, kita perlu berani bertanya:

  • Apakah TBNRI masih relevan?
  • Apakah BUMN boleh menjadikan kewajiban hukum sebagai komoditas bisnis?
  • Apakah kepastian hukum harus selalu dibarengi dengan pungutan biaya tambahan?

 

Penutup

Publisitas PT adalah jantung dari kepastian hukum dalam dunia korporasi. Tetapi ketika sarana publisitas berubah menjadi ladang bisnis, substansi hukum dikalahkan oleh kepentingan komersial.

Jika negara sungguh ingin memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, maka revisi UUPT sudah tak bisa ditunda. Publisitas PT seharusnya sederhana: sekali sah di AHU, maka mengikat siapa pun. Tidak perlu ada lapisan ganda yang hanya menambah beban tanpa manfaat nyata.

 

💬 Diskusi Terbuka

Menurut Anda, apakah kewajiban publikasi PT di TBNRI masih relevan di era digital saat ini?
👉 Ataukah cukup melalui AHU Online saja?

Tulis pendapat Anda di kolom komentar!

  • Jika setuju, jelaskan mengapa TBNRI sudah tak lagi perlu.
  • Jika tidak setuju, apa alasan TBNRI masih penting dipertahankan?

 

📢 Bagikan Pengalaman

Bagi Anda yang pernah mengurus PT atau berprofesi sebagai notaris,
apakah pernah merasa terbebani dengan biaya tambahan cetak TBNRI?
Ceritakan pengalaman Anda agar bisa jadi pembelajaran bersama!


Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia