
Salah satu asas penting dalam hukum perseroan adalah publisitas. Perseroan Terbatas (PT) baru diakui sebagai badan hukum jika telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM serta diumumkan agar diketahui pihak ketiga. Prinsip ini sederhana: status dan perubahan PT harus terbuka, supaya siapa pun yang berhubungan dengan PT tidak dirugikan.
Namun, dalam praktik,
publisitas PT di Indonesia justru menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi,
sudah ada Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU Online) yang modern,
real-time, dan bisa diakses publik. Di sisi lain, UUPT masih mewajibkan
pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI), yang
pengelolaannya diserahkan kepada Percetakan Negara RI (PNRI).
Publisitas Ganda: AHU dan TBNRI
Publisitas melalui AHU
sudah cukup memadai. Notaris dan masyarakat bisa mengecek status PT, akta
pendirian, susunan direksi-komisaris, hingga perubahan modal secara cepat.
Dalam era digital, inilah yang sebenarnya dimaksud dengan keterbukaan.
Namun, kewajiban
pengumuman di TBNRI tetap dipertahankan. Pasal 30 UUPT masih menyebut “Menteri
mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara.” Padahal, siapa di zaman sekarang
yang benar-benar membuka TBNRI cetak untuk mencari informasi PT? Praktiknya
hampir nihil.
Tekanan yang Dialami Notaris
Masalah makin pelik
ketika PNRI, yang kini berstatus BUMN, berorientasi pada profit. Tidak lagi
sekadar menjalankan fungsi publik, PNRI memosisikan TBNRI sebagai produk
komersial.
Banyak notaris
mendapat email teguran dari PNRI agar setiap permohonan PT, baik pengesahan
maupun perubahan, harus order cetak TBNRI. Jika tidak, seolah-olah
notaris dianggap melanggar kewajiban hukum. Padahal, jika dicermati, norma itu
mewajibkan Menteri, bukan notaris atau masyarakat.
Ketimpangan dan Beban Biaya
Di titik inilah
publisitas PT terasa problematis.
- Dari segi hukum, pengesahan di AHU
sudah cukup untuk melahirkan kepastian hukum.
- Dari segi fungsi, TBNRI nyaris tidak
dipakai masyarakat luas.
- Dari segi ekonomi, notaris dan klien
harus menanggung biaya tambahan untuk sesuatu yang nilainya minim.
Publisitas ganda
akhirnya tidak lagi sekadar “formalitas hukum”, tapi berubah menjadi instrumen
komersialisasi.
Saatnya Revisi UUPT
Jika tujuan awal
publisitas adalah kepastian hukum, maka sudah waktunya Indonesia menata
ulang sistemnya. Cukup AHU yang menjadi sumber kebenaran tunggal.
Publikasi di TBNRI bisa diposisikan sebagai arsip, bukan kewajiban yang
membebani masyarakat.
Dalam konteks
reformasi hukum, kita perlu berani bertanya:
- Apakah TBNRI masih relevan?
- Apakah BUMN boleh menjadikan kewajiban
hukum sebagai komoditas bisnis?
- Apakah kepastian hukum harus selalu
dibarengi dengan pungutan biaya tambahan?
Penutup
Publisitas PT adalah
jantung dari kepastian hukum dalam dunia korporasi. Tetapi ketika sarana
publisitas berubah menjadi ladang bisnis, substansi hukum dikalahkan
oleh kepentingan komersial.
Jika negara sungguh
ingin memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, maka revisi
UUPT sudah tak bisa ditunda. Publisitas PT seharusnya sederhana: sekali sah di
AHU, maka mengikat siapa pun. Tidak perlu ada lapisan ganda yang hanya menambah
beban tanpa manfaat nyata.
💬 Diskusi Terbuka
Menurut Anda, apakah
kewajiban publikasi PT di TBNRI masih relevan di era digital saat ini?
👉 Ataukah cukup melalui AHU Online saja?
Tulis pendapat Anda di
kolom komentar!
- Jika setuju, jelaskan mengapa TBNRI
sudah tak lagi perlu.
- Jika tidak setuju, apa alasan TBNRI
masih penting dipertahankan?
📢 Bagikan Pengalaman
Bagi Anda yang pernah
mengurus PT atau berprofesi sebagai notaris,
apakah pernah merasa terbebani dengan biaya tambahan cetak TBNRI?
Ceritakan pengalaman Anda agar bisa jadi pembelajaran bersama!
comment 0 Comment
more_vert