MASIGNCLEAN101

KEKELIRUAN MEMAHAMI ISTILAH SMART CONTRACT: ITU BUKANLAH KONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA

KEKELIRUAN MEMAHAMI ISTILAH SMART CONTRACT: ITU BUKANLAH KONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA
Wednesday, July 23, 2025


 

Oleh: Agus Suhariono

email: agus.suhariono@gmail.com

22 Juli 2025

 

Abstrak

Istilah smart contract sering disalahartikan sebagai bentuk perjanjian digital yang sah dalam pengertian hukum perdata. Padahal, secara teknis, smart contract hanyalah serangkaian kode otomatis yang dijalankan dalam jaringan blockchain. Tulisan ini mengkritisi kekeliruan pemahaman tersebut, khususnya di kalangan penyusun kontrak dan akademisi hukum yang mencoba menilai keabsahan smart contract berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan pendekatan yuridis-normatif dan analisis konseptual, tulisan ini menunjukkan bahwa smart contract tidak memenuhi unsur-unsur pokok perjanjian, seperti adanya kesepakatan, kecakapan hukum, dan kehendak yang terverifikasi. Smart contract bekerja dalam logika sistem, bukan logika hukum, dan tidak menyediakan perlindungan hukum apabila terjadi sengketa. Oleh karena itu, istilah “contract” dalam smart contract sebaiknya tidak dipahami sebagai kontrak hukum, melainkan sebagai metafora teknis. Tulisan ini menyarankan agar praktisi hukum tidak tertipu oleh istilah, dan menempatkan smart contract secara proporsional sebagai alat bantu transaksi digital, bukan sebagai instrumen perikatan hukum.

Kata kunci: smart contract, blockchain, hukum perdata, perjanjian.

 

 

I.          Pendahuluan

Kemajuan teknologi digital dalam era Revolusi Industri 4.0 yaitu sebuah fase dalam perkembangan industri yang ditandai dengan integrasi teknologi digital, otomatisasi, dan kecerdasan buatan ke dalam proses produksi dan kehidupan manusia secara luas. Istilah ini pertama kali diperkenalkan secara luas pada tahun 2011 di Jerman dalam proyek "Industrie 4.0" sebagai bagian dari strategi teknologi tinggi pemerintah mereka.

Salah satu istilah yang belakangan ini sering muncul dan menarik perhatian kalangan hukum adalah smart contract. Banyak yang mengira bahwa smart contract adalah bentuk baru dari kontrak konvensional yang dibuat secara digital dan dijalankan secara otomatis. Bahkan, tidak sedikit yang menyamakannya dengan kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, pemahaman tersebut tidak sepenuhnya tepat, bahkan bisa menyesatkan jika ditinjau dari perspektif ilmu hukum.

Secara sederhana, smart contract bukanlah kontrak dalam arti perjanjian antara dua orang atau lebih, melainkan kode instruksi otomatis (disebut self-executing code) yang dijalankan di dalam sistem yang disebut blockchain. Kode ini berisi perintah sederhana seperti: “jika A melakukan sesuatu, maka sistem akan melakukan B”. Tidak ada negosiasi, tidak ada tanda tangan, dan tidak ada pertemuan kehendak sebagaimana lazimnya sebuah perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Sayangnya, sejumlah tulisan ilmiah maupun seminar hukum justru menganggap bahwa smart contract dapat dinilai keabsahannya menggunakan syarat-syarat perjanjian dalam KUHPerdata, yaitu sepakat, cakap, objek tertentu, dan sebab yang halal. Salah satunya adalah jurnal karya Fakhriah, Hans, dan Syamsul (2025), yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bisa diberlakukan pada smart contract, bahkan membahas bentuk tanggung jawab hukum jika pihak yang terlibat dianggap tidak cakap. Padahal, smart contract tidak melibatkan proses hukum sebagaimana perjanjian biasa, karena dijalankan oleh sistem secara otomatis, dan pelakunya hanya diwakili oleh alamat digital (bukan identitas hukum manusia).

Masalah utama dari anggapan tersebut adalah bahwa smart contract tidak memuat unsur “sepakat” dalam arti sebenarnya. Pengguna tidak merundingkan isi kontrak; mereka hanya bisa memilih “setuju” atau “tidak setuju” pada sistem yang sudah jadi. Ini lebih mirip dengan syarat dan ketentuan dalam aplikasi digital, bukan hasil musyawarah antara dua belah pihak. Selain itu, siapa pihak yang benar-benar terlibat pun sering kali tidak diketahui secara pasti, karena identitas dalam sistem blockchain bersifat anonim.

Dengan demikian, menyamakan smart contract dengan perjanjian menurut hukum perdata Indonesia adalah bentuk penyederhanaan yang tidak akurat. Istilah “contract” dalam smart contract hanyalah istilah teknis, bukan istilah hukum. Ini penting dipahami, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penilaian hukum maupun penyusunan kontrak digital.

Perlu diketahui pula bahwa kontrak digital dan kontrak elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE adalah hal yang sangat berbeda dengan smart contract. Kontrak digital bisa memuat kehendak para pihak, bisa ditandatangani secara elektronik, dan bisa dimintakan perlindungan hukum di pengadilan. Sebaliknya, smart contract tidak dirancang untuk itu.

Dalam praktiknya, smart contract banyak digunakan di dunia kripto, NFT, dan transaksi digital otomatis, bukan dalam transaksi hukum konvensional seperti jual beli tanah, sewa-menyewa, atau perjanjian kerja. Oleh karena itu, penting bagi para penyusun kontrak (legal drafter), notaris, maupun akademisi hukum untuk memahami batas dan ruang lingkup istilah ini dengan hati-hati.

Tulisan ini disusun untuk mengkritisi kekeliruan tafsir terhadap istilah smart contract, sekaligus memberi pemahaman bahwa istilah smart contract ini tidak dapat dipahami sebagai perjanjian dalam perspektif hukum perdata. Dengan memahami karakter teknis dan non-hukum dari smart contract, diharapkan para praktisi dan akademisi hukum dapat lebih bijak dalam menempatkannya dalam sistem hukum nasional.

 

II.       Konsep Dasar Kontrak dalam Perspektif Hukum

Dalam sistem hukum perdata Indonesia, perjanjian atau kontrak merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang paling sering digunakan dalam hubungan antar subjek hukum, baik individu maupun badan hukum. Kontrak menjadi sarana utama untuk mengatur hak dan kewajiban timbal balik dalam ranah privat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep dasar kontrak, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menjadi landasan penting dalam menilai apakah suatu hubungan hukum dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian yang sah (Subekti, 2002).

1.    Unsur-Unsur Kontrak dalam KUHPerdata Pasal 1320

Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1)   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2)   Cakap untuk membuat suatu perikatan

3)   Suatu hal tertentu

4)   Sebab yang halal

Dua syarat pertama (sepakat dan cakap) merupakan syarat subyektif, karena berkaitan dengan kehendak dan kapasitas para pihak. Dua syarat terakhir (hal tertentu dan sebab yang halal) adalah syarat obyektif, karena menyangkut isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan; sedangkan jika syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum (Sutedi, 2010).

Unsur “sepakat” menunjukkan bahwa para pihak harus memiliki kesadaran dan kebebasan dalam menyatakan kehendaknya, tanpa paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Adapun unsur “cakap” merujuk pada kemampuan hukum seseorang untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, misalnya sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata (Munir Fuady, 2014).

2.      Prinsip-Prinsip Fundamental dalam Hukum Kontrak

Selain syarat-syarat formal tersebut, hukum perjanjian juga dibangun atas sejumlah prinsip mendasar, antara lain:

·         Asas konsensualisme, yang berarti perjanjian dianggap sah dan mengikat sejak tercapainya kata sepakat, tanpa perlu bentuk tertulis, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

·         Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yang memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk membuat, menentukan isi, dan mengatur bentuk perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1338 KUHPerdata);

·         Asas itikad baik (good faith), yaitu bahwa dalam melaksanakan perjanjian, para pihak harus bertindak jujur, terbuka, dan saling menghormati hak serta kepentingan masing-masing (Sudikno Mertokusumo, 2008).

Ketiga asas ini menjadi fondasi moral dan hukum yang membedakan antara kontrak yang hanya formalistik, dengan kontrak yang benar-benar berfungsi menciptakan keadilan dan kepastian bagi para pihak.

3.      Pentingnya Proses Negosiasi dan Pertemuan Kehendak

Dalam praktik perjanjian konvensional, terbentuknya kontrak biasanya diawali dengan proses perundingan atau negosiasi, di mana para pihak mendiskusikan isi, syarat, dan ketentuan dari hubungan hukum yang akan mereka bentuk. Negosiasi ini mencerminkan proses bertemunya kehendak (consensus ad idem), yakni kesesuaian pemahaman dan tujuan dari masing-masing pihak terhadap objek perjanjian (Salim HS, 2015).

Proses ini tidak hanya penting dari sisi substansi hukum, tetapi juga menjadi indikator bahwa perjanjian dibentuk secara sadar dan sukarela. Dalam banyak sengketa perdata, unsur kehendak yang cacat karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan menjadi alasan utama pembatalan kontrak.

4.      Peran Subjek Hukum dan Kecakapannya

Kontrak hanya dapat dibentuk oleh subjek hukum yang cakap, yaitu pihak yang secara hukum memiliki kapasitas untuk mengikatkan diri. Subjek hukum dapat berupa individu (orang perseorangan) maupun badan hukum (seperti perseroan terbatas atau yayasan). Kecakapan ini tidak hanya terkait usia atau status hukum, tetapi juga menyangkut kemampuan memahami isi kontrak dan akibat hukumnya (Fuady, 2014).

Pentingnya identitas dan kapasitas subjek hukum menjadi sorotan utama ketika kita membandingkan kontrak konvensional dengan fenomena baru seperti smart contract, di mana pelakunya tidak selalu dapat dikenali atau diverifikasi. Dalam perjanjian biasa, identitas para pihak jelas, dapat diverifikasi, dan tercatat dalam dokumen perjanjian. Sebaliknya, dalam smart contract, sering kali tidak ada kejelasan siapa yang mengikatkan diri secara hukum karena transaksi hanya melibatkan alamat digital atau wallet address yang anonim dan tidak berkepribadian hukum.

 

III.   Apa Itu Smart Contract?

1.         Definisi Teknis

Istilah smart contract pertama kali diperkenalkan oleh Nick Szabo pada tahun 1994, jauh sebelum teknologi blockchain seperti Ethereum dikenal luas. Szabo mendefinisikannya sebagai “protokol komputer yang secara otomatis mengeksekusi ketentuan dari suatu kontrak digital” (Szabo, 1997). Artinya, smart contract pada dasarnya adalah sekumpulan instruksi yang tertulis dalam bentuk kode komputer, yang akan berjalan secara otomatis ketika kondisi tertentu terpenuhi. Konsep ini kemudian berkembang seiring munculnya teknologi blockchain, yang memungkinkan eksekusi instruksi tersebut dilakukan secara terdesentralisasi, tanpa perantara pihak ketiga seperti notaris, bank, atau pengadilan.

2.      Karakteristik

Dalam praktiknya, smart contract bukanlah kontrak dalam pengertian hukum, melainkan sebuah program otomatis yang disimpan di jaringan blockchain, dan berfungsi seperti mesin penjual otomatis: ketika seseorang memenuhi syarat yang telah diprogram (misalnya, mengirim sejumlah mata uang kripto), maka sistem secara otomatis akan menjalankan hasil yang telah ditentukan (misalnya, mengirimkan aset digital atau membuka akses tertentu). Tidak ada perundingan, tidak ada pemahaman bersama, dan tidak ada kemungkinan untuk mengubah isi setelah program tersebut dijalankan (Christidis & Devetsikiotis, 2016).

Perlu diketahui bahwa smart contract tidak memiliki bentuk dokumen legal yang bisa dibaca atau ditandatangani oleh para pihak sebagaimana perjanjian konvensional. Kontrak ini tidak menunjukkan siapa pihak yang terlibat secara sah, karena yang dikenali sistem hanya alamat digital atau wallet address, bukan nama orang atau badan hukum yang diakui oleh sistem hukum negara. Ini menimbulkan kesulitan besar apabila terjadi sengketa, karena tidak ada cara hukum konvensional untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan atau hasil dari eksekusi smart contract tersebut (Werbach & Cornell, 2017).

Selain itu, tidak ada proses perundingan antar pihak. Pihak yang ingin menggunakan smart contract hanya bisa memilih antara menyetujui seluruh isi kode atau tidak sama sekali. Dalam istilah hukum, ini dikenal sebagai prinsip take it or leave it, dan sangat berbeda dari asas konsensualisme yang menjadi pilar utama dalam hukum kontrak perdata. Dengan demikian, smart contract tidak memenuhi unsur “sepakat” dalam arti Pasal 1320 KUHPerdata, karena tidak terjadi pertemuan kehendak yang sejati.

3.      Ruang Lingkup Penggunaan

Smart contract banyak digunakan dalam sistem decentralized finance (DeFi), pertukaran aset digital seperti NFT (non-fungible token), dan organisasi otonom terdesentralisasi (DAO). Dalam ekosistem ini, smart contract membantu mempercepat proses transaksi, mengurangi biaya administrasi, dan menghilangkan kebutuhan akan perantara. Namun, seluruh proses tersebut hanya berjalan dalam lingkup sistem digital tertutup, bukan dalam sistem hukum formal negara.

Di sisi lain, smart contract juga tidak memberikan ruang untuk penyesuaian apabila terjadi keadaan luar biasa, seperti wanprestasi karena force majeure. Karena bersifat otomatis dan tidak dapat diubah setelah dijalankan, kode smart contract akan tetap mengeksekusi perintah meskipun kondisi para pihak sudah berubah secara signifikan. Ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan dan fleksibilitas yang lazim dalam hukum kontrak konvensional.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa meskipun namanya “contract”, pada smart contract bukanlah perjanjian dalam arti hukum, melainkan mekanisme otomatisasi transaksi digital dalam jaringan blockchain. Oleh karena itu, menilai smart contract dengan tolok ukur hukum perdata klasik bukan hanya tidak tepat, tapi juga berpotensi menyesatkan pemahaman hukum terhadap teknologi ini.

 

IV.    Ketidaksesuaian Smart Contract dengan Konsep Perjanjian Hukum

Setelah memahami konsep dasar kontrak menurut KUHPerdata dan karakter teknis smart contract dalam sistem blockchain, tampak bahwa keduanya berbeda secara prinsipil. Upaya untuk menilai smart contract dengan menggunakan kriteria hukum perdata klasik tidak hanya keliru, tetapi juga berisiko menyimpangkan pemahaman hukum terhadap teknologi baru ini.

Ada beberapa alasan mengapa smart contract tidak sesuai jika diposisikan sebagai perjanjian hukum dalam arti Pasal 1320 KUHPerdata.

1.    Tidak Ada “Sepakat” dalam Arti Pertemuan Kehendak

Unsur sepakat dalam hukum perjanjian mensyaratkan adanya proses perundingan dan kesepahaman antara para pihak. Kedua belah pihak harus menyatakan kehendaknya secara bebas dan sadar, serta memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi kontrak (Subekti, 2002). Dalam smart contract, tidak terdapat ruang bagi perundingan atau modifikasi. Pihak pengguna hanya dihadapkan pada pilihan untuk menerima atau menolak keseluruhan isi kode yang sudah ditetapkan sebelumnya (take it or leave it). Maka, unsur pertemuan kehendak sebagai syarat sah perjanjian tidak terpenuhi.

2.    Tidak Ada Verifikasi Kecakapan Subjek Hukum

Dalam hukum perdata, pihak-pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kecakapan hukum, yaitu mampu memahami dan menanggung akibat dari tindakan hukumnya (Fuady, 2014). Sebaliknya, dalam smart contract, identitas para pihak biasanya hanya berupa wallet address yang bersifat anonim. Sistem blockchain tidak memverifikasi umur, status hukum, atau identitas pribadi. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa pihak-pihak dalam smart contract adalah subjek hukum yang sah dan cakap menurut KUHPerdata.

3.    Tidak Menyediakan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Perjanjian hukum selalu menyediakan jalan hukum jika terjadi wanprestasi, baik melalui pengadilan, arbitrase, atau mediasi. Dalam smart contract, tidak tersedia mekanisme penyelesaian sengketa secara yuridis, karena sistem akan mengeksekusi isi perintah secara otomatis tanpa mempertimbangkan kondisi riil para pihak. Bahkan jika ada kekeliruan atau ketidakadilan, sistem tidak dapat membatalkan atau menghentikan perintah yang telah berjalan (Werbach & Cornell, 2017). Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan hukum dalam hukum perdata.

4.    Tidak Mengenal Konsep Itikad Baik dan Keadilan

Hukum kontrak menekankan pentingnya itikad baik dalam proses pembentukan dan pelaksanaan perjanjian. Para pihak harus bertindak jujur, terbuka, dan saling menghormati kepentingan masing-masing (Mertokusumo, 2008). Dalam smart contract, seluruh hubungan hukum digantikan oleh kode instruksi yang bersifat “mekanis”. Sistem tidak mempertimbangkan alasan subjektif, tidak bisa menilai niat, dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah. Dengan kata lain, aspek moral dan sosial dari kontrak diabaikan sepenuhnya.

5.    Berjalan dalam Ekosistem Teknologi, Bukan Sistem Hukum

Smart contract bekerja dalam sistem blockchain yang bersifat terdistribusi dan otonom, tidak tunduk pada satu yurisdiksi hukum tertentu. Oleh karena itu, keberlakuan dan penegakan smart contract tidak ditentukan oleh hukum nasional, tetapi oleh logika sistem digital di mana ia berada. Dengan demikian, menilai validitasnya berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menjadi tidak relevan, karena ranah dan sistem hukumnya berbeda secara fundamental (Christidis & Devetsikiotis, 2016).

Smart contract bukanlah bentuk perjanjian yang dimaksud dalam hukum perdata Indonesia. Ia tidak memenuhi unsur “sepakat” dan “cakap”, tidak menjamin perlindungan hukum terhadap wanprestasi, dan tidak memungkinkan adaptasi terhadap keadaan luar biasa. Penggunaannya yang sangat teknis dan terbatas pada ekosistem blockchain membuatnya lebih tepat dipahami sebagai alat bantu teknologi daripada instrumen hukum.

 

V.   Mengapa Istilah “Smart Contract” Menyesatkan?

Penggunaan istilah “smart contract” telah menjadi sumber kebingungan di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Sekilas, frasa ini terdengar seperti bentuk kontrak yang canggih, mungkin versi digital dari kontrak tradisional. yang dijalankan dengan bantuan teknologi. Namun, dalam kenyataannya, smart contract bukanlah kontrak dalam pengertian hukum, melainkan sekumpulan instruksi teknis yang dijalankan otomatis dalam sistem blockchain. Oleh sebab itu, istilah “contract” dalam smart contract cenderung menyesatkan (misleading) jika diartikan sebagaimana pemahaman dalam hukum perdata.

1.    Istilah yang Bersifat Metaforis, Bukan Yuridis

Smart contract tidak memuat pernyataan kehendak, tidak melalui proses negosiasi, dan tidak melibatkan pertanggungjawaban hukum dalam arti klasik. Ia hanyalah kode program yang jika dijalankan akan mengeksekusi tindakan tertentu secara otomatis berdasarkan kondisi yang telah ditetapkan. Nick Szabo, penggagas awal istilah ini, pun tidak mengartikannya sebagai kontrak hukum, melainkan sebagai analogi “protokol untuk melakukan transaksi otomatis” (Szabo, 1997). Dalam hal ini, penggunaan kata “contract” sebenarnya hanya metafora yang diadopsi dari logika perjanjian, bukan dari praktik hukum yang sesungguhnya.

2.    Disalahpahami sebagai Kontrak Elektronik atau Digital

Banyak pihak menyamakan smart contract dengan kontrak elektronik atau kontrak digital sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, perbedaannya sangat mendasar. Kontrak elektronik tetap merupakan perjanjian hukum yang dibuat oleh para pihak, hanya saja medianya berbasis digital. Ia tunduk pada asas konsensualisme, syarat kecakapan, dan dapat dibuktikan secara hukum. Sebaliknya, smart contract tidak menyertakan kehendak para pihak secara eksplisit, melainkan hanya menjalankan algoritma logika “jika–maka” (if–then) yang telah ditanamkan di sistem (Christidis & Devetsikiotis, 2016).

Kesalahpahaman ini sering kali menimbulkan kekeliruan dalam praktik hukum, misalnya saat legal drafter atau notaris mengira bahwa smart contract dapat digunakan sebagai bentuk pengganti kontrak hukum formal. Bahkan beberapa tulisan akademik, seperti yang ditulis oleh Fakhriah, Hans, dan Syamsul (2025), berusaha menilai keabsahan smart contract dengan menggunakan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pendekatan seperti ini seakan menganggap bahwa sistem teknologi dapat menggantikan proses hukum yang penuh pertimbangan moral dan sosial, padahal itu tidaklah demikian.

3.    Menyebabkan Salah Tafsir dalam Perancangan Kontrak

Bagi para penyusun kontrak (legal drafter), penggunaan istilah smart contract dapat menimbulkan ekspektasi keliru bahwa teknologi ini bisa digunakan secara langsung dalam praktik hukum sehari-hari, misalnya untuk perjanjian jual beli, kerja sama usaha, atau perjanjian pinjam-meminjam. Dalam praktiknya, smart contract hanya cocok digunakan untuk eksekusi teknis tertentu, seperti transfer aset digital, pengelolaan data, atau eksekusi logika otomatis dalam platform kripto. Penerapannya di luar ekosistem tersebut masih sangat terbatas dan belum didukung oleh kerangka hukum positif.

Jika penyusunan kontrak hukum disamakan dengan pembuatan kode smart contract, maka nilai-nilai substansial dalam hukum kontrak bisa diabaikan, seperti negosiasi, keadilan, dan pertimbangan khusus antar pihak. Bahkan dalam dunia teknologi sendiri, smart contract tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan peran hukum formal. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam mengadopsi istilah ini di ranah hukum, agar tidak menyesatkan pengambilan keputusan.

4.    Perlu Reinterpretasi Terminologi

Beberapa akademisi menyarankan agar smart contract tidak lagi disebut contract”, melainkan diganti dengan istilah yang lebih netral dan teknis, seperti:

·         Smart Protocol

·         Automated Script

·         Decentralized Execution Code

Langkah ini bertujuan untuk memisahkan istilah teknologis dari pengertian hukum, agar tidak terjadi pencampuradukan antara logika mesin dan logika hukum (Werbach & Cornell, 2017). Terminologi yang tepat akan membantu menjaga integritas konsep-konsep hukum yang selama ini telah menjadi fondasi sistem perjanjian.

Kebingungan yang timbul dari istilah “smart contract” menunjukkan betapa pentingnya ketepatan bahasa dalam hukum. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, para praktisi hukum perlu bersikap kritis terhadap istilah-istilah baru yang diadopsi dari teknologi, dan tidak serta-merta menerima istilah tersebut seolah-olah ia memiliki pengertian hukum yang sama. Smart contract bukanlah kontrak dalam arti hukum, dan oleh karena itu, harus diposisikan sebagai alat bantu teknis, bukan sebagai instrumen perikatan hukum.

 

V.      Kesimpulan

Istilah smart contract memang terdengar menarik dan futuristik, apalagi di tengah derasnya arus digitalisasi dalam berbagai bidang, termasuk hukum. Namun, setelah ditelaah secara mendalam, jelas bahwa istilah ini lebih mencerminkan mekanisme teknis otomatisasi daripada makna hukum dari sebuah “perjanjian”. Dalam sistem hukum perdata Indonesia, perjanjian bukan hanya soal instruksi, tetapi menyangkut kesepakatan kehendak antar subjek hukum yang cakap, prinsip keadilan, serta perlindungan terhadap kepentingan hukum masing-masing pihak. Semua unsur ini nyaris tidak ditemukan dalam smart contract.

Smart contract, pada dasarnya, hanyalah sekumpulan kode yang dieksekusi otomatis di jaringan blockchain. Ia tidak mengenal perundingan, tidak memverifikasi identitas hukum pihak yang terlibat, dan tidak memberikan ruang bagi adaptasi atau pembatalan jika terjadi keadaan luar biasa. Maka, meskipun namanya mengandung kata "contract", ia tidak dapat disamakan dengan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kekeliruan dalam memahami hal ini—terutama di kalangan legal drafter dan akademisi, dapat menimbulkan distorsi konseptual dan kesalahan dalam penerapan hukum.

Tulisan ini juga telah mengkritisi praktik sejumlah kajian hukum yang mencoba mengukur keabsahan smart contract menggunakan pendekatan hukum perdata konvensional. Salah satunya adalah jurnal karya Fakhriah, Hans, dan Syamsul (2025), yang menilai bahwa smart contract dapat memenuhi syarat sah perjanjian berdasarkan KUHPerdata. Padahal, pandangan semacam itu mengabaikan fakta teknologis dan karakteristik dasar dari smart contract itu sendiri, yang jauh berbeda dari kontrak hukum dalam praktik biasa.

Oleh karena itu, pembenahan istilah sangat mendesak dilakukan. Akan lebih tepat bila smart contract disebut sebagai protokol otomatisasi transaksi digital, bukan sebagai kontrak hukum. Penyesuaian istilah ini tidak hanya penting secara semantik, tetapi juga penting secara yuridis, agar hukum tidak kehilangan presisi dalam menghadapi fenomena baru.

Bagi para penyusun kontrak, notaris, dan praktisi hukum lainnya, pemahaman yang tepat terhadap istilah dan ruang lingkup penggunaan smart contract menjadi sangat penting. Alih-alih melihatnya sebagai pengganti kontrak hukum, smart contract seharusnya diposisikan sebagai alat bantu teknologi yang digunakan dalam sistem tertutup seperti blockchain, bukan dalam sistem hukum nasional yang mengedepankan asas keadilan dan pertanggungjawaban.

Akhirnya, tulisan ini mengajak komunitas hukum untuk lebih kritis, hati-hati, dan selektif dalam menyerap istilah dari luar disiplin hukum. Hukum tidak boleh sekadar mengikuti tren, tetapi harus tetap menjunjung akurasi dan nilai-nilai dasarnya. Sebab jika tidak, kita berisiko memaksakan logika mesin ke dalam logika hukum, yang pada akhirnya justru dapat mengorbankan keadilan itu sendiri.

 

Daftar Bacaan

 

Christidis, K., & Devetsikiotis, M. (2016). Blockchains and Smart Contracts for the Internet of Things. IEEE Access, 4, 2292–2303. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2016.2566339

Fakhriah, S., Hans, S. W. P., & Syamsul. (2025). Analisis Yuridis Keabsahan Smart Contract dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan, 7(1), 45–55. https://doi.org/10.32502/khk.v7i1.9725

Fuady, M. (2014). Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mertokusumo, S. (2008). Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Salim HS. (2015). Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Subekti. (2002). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

Szabo, N. (1997). The Idea of Smart Contracts. Retrieved from https://szabo.best.vwh.net/smart.contracts.html

Werbach, K., & Cornell, N. (2017). Contracts Ex Machina. Duke Law Journal, 67(2), 313–382. https://scholarship.law.duke.edu/dlj/vol67/iss2/3

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia