MASIGNCLEAN101

Kantor Notaris Anda Dianggap Tidak Layak? Waspadai SP Sepihak dari MPD !

Kantor Notaris Anda Dianggap Tidak Layak? Waspadai SP Sepihak dari MPD !
Wednesday, July 30, 2025

Oleh: Agus Suhariono

Tanpa Standar Resmi, Penilaian Layak atau Tidaknya Kantor Notaris Masih Kabur—Siapkah Anda Menghadapinya?


 Pendahuluan

Bayangkan Anda adalah notaris baru. Bersusah payah membuka kantor sendiri dengan modal pas-pasan. Kantor anda sederhana tapi fungsional, ada meja, kursi, ruang kecil untuk arsip, dan tentu saja semangat untuk melayani masyarakat secara profesional.

Tapi suatu hari, datanglah kabar tak mengenakkan: Anda mendapat Surat Peringatan (SP 1) dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Alasannya? Kantor Anda dianggap tidak layak. Tidak ada pelanggaran etik. Tidak ada masalah dalam pembuatan akta. Hanya penilaian sepihak dari MPD tentang kondisi kantor.

Lalu Anda bertanya-tanya: "Memangnya, di mana sih aturan yang menjelaskan kantor notaris harus seperti apa?"

Jawabannya mengejutkan: belum ada pengaturan resmi yang baku dan objektif tentang standar kelayakan kantor notaris. Yang ada hanya frasa dalam undang-undang yang menyebut notaris harus memiliki "kantor tetap". Tapi bagaimana bentuknya, seberapa luas, dan fasilitas apa saja yang wajib ada, semuanya dibiarkan dalam ruang tafsir yang kabur.

Masalah ini bukan sekadar soal kenyamanan atau estetika. Bagi notaris muda yang baru mulai berpraktik, penilaian sepihak semacam ini bisa berdampak serius. Nama baik bisa tercoreng, kepercayaan klien runtuh, dan karier yang baru dirintis bisa terancam sebelum berkembang.

Artikel ini akan mengupas tuntas celah hukum di balik standar kantor notaris yang belum jelas, serta bagaimana ketidakpastian ini bisa menjadi senjata yang merugikan—dan apa solusi ke depan agar hal seperti ini tak terus berulang.

 

Kantor Notaris: Diatur Tapi Tidak Jelas

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), tepatnya Pasal 19 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014, disebutkan bahwa: “Notaris wajib mempunyai kantor di tempat kedudukannya.”

Frasa "mempunyai kantor" terdengar sederhana, tapi menjadi rumit ketika masuk ke ranah pelaksanaan. Apakah kantor itu harus berada di ruko? Apakah boleh di rumah pribadi? Harus ada ruang tamu? Arsip? Brankas? Tidak satu pun disebut secara rinci dalam UUJN.

Tidak adanya peraturan teknis dari Kementerian Hukum dan HAM atau dari organisasi profesi tentang standar minimal kelayakan kantor notaris membuka ruang tafsir yang sangat luas. Akibatnya, MPD bisa saja membuat penilaian subyektif berdasarkan selera atau standar tidak tertulis.

 

Ketika Penafsiran Jadi Ancaman: Kasus Surat Peringatan

Salah satu contoh nyata terjadi ketika seorang notaris mendapatkan Surat Peringatan (SP 1) dari MPD hanya karena kantor yang dinilai “tidak layak”. Tidak ada pelanggaran kode etik, tidak ada pelanggaran hukum. Hanya soal kondisi fisik kantor. Tapi konsekuensinya serius—nama baik tercoreng, dan bisa menjadi batu loncatan menuju SP 2 dan SP 3, yang bahkan dapat berujung pada pemberhentian sementara.

Masalahnya, MPD tidak pernah menjelaskan secara rinci apa indikator "layak" itu. Apakah soal ukuran ruangan? Interior? Ada atau tidaknya pendingin ruangan? Dan ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana keadilan ketika aturan pun tak tersedia?

 

Kekosongan Hukum = Celah Penyalahgunaan Wewenang?

Dalam sistem hukum yang ideal, setiap sanksi administratif harus memiliki dasar hukum yang jelas dan terukur. Jika tidak, maka tindakan tersebut bisa dianggap maladministrasi atau bahkan penyalahgunaan wewenang.

Majelis Pengawas memang memiliki fungsi pengawasan sesuai Pasal 66 UUJN. Tapi fungsi pengawasan bukan berarti kewenangan mutlak tanpa batas. Mereka tidak bisa menciptakan norma baru, apalagi memberlakukan standar yang tidak pernah disahkan secara resmi oleh lembaga berwenang seperti Menteri Hukum dan HAM atau Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI).

 

Perbandingan: Profesi Lain Punya Standar Kantor

Untuk menilai urgensi masalah ini, mari bandingkan dengan profesi lain:

·       Dokter umum: Standar praktik dokter diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, lengkap dengan ukuran ruang, tempat steril, dan lainnya.

·       Psikolog klinis: Ada standar ruang konsultasi berdasarkan izin praktik.

·       Pengacara: Memang tidak wajib punya kantor, tapi jika punya, tidak pernah ada sanksi administratif karena bentuk kantor yang tidak sesuai.

Notaris, sebagai pejabat umum, justru memegang jabatan yang berkaitan langsung dengan kepercayaan publik dan negara. Seharusnya ada standar minimal kantor notaris untuk menjamin integritas, keamanan, dan kerahasiaan dokumen. Tapi sayangnya, standar ini belum pernah disahkan secara resmi.

 

Bahaya dari Ketidakpastian Hukum

Dalam prinsip-prinsip hukum administrasi negara, dikenal asas legalitas dan kepastian hukum. Artinya, setiap tindakan pejabat negara (termasuk MPD) harus didasarkan pada hukum tertulis yang jelas. Jika tidak, maka:

·       Tindakan itu rawan digugat di PTUN.

·       Menimbulkan ketidakadilan bagi notaris yang taat.

·       Membuka celah untuk diskriminasi atau praktik tidak sehat, termasuk "like and dislike".

Dan yang paling penting: hal ini bisa membuat notaris hidup dalam ketakutan administratif, karena tidak tahu kapan kantor mereka akan dianggap "tidak layak".

 

Solusi: Mendesak Dibuatnya Standar Resmi

Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan langkah-langkah konkret:

1.    Peraturan Teknis dari Kemenkumham

Kementerian Hukum dan HAM, melalui Direktorat Jenderal AHU, perlu mengeluarkan Peraturan Menteri atau Keputusan Dirjen yang menetapkan:

·         Ukuran minimal kantor.

·         Fasilitas yang wajib ada (ruang tunggu, ruang arsip, meja tanda tangan, dll).

·         Sistem keamanan dan kerahasiaan dokumen.

2.    Inisiatif Organisasi Profesi

Ikatan Notaris Indonesia (INI) dapat menyusun pedoman standar kantor notaris, yang disepakati dalam Kongres atau Rakernas, dan dijadikan acuan internal oleh seluruh Majelis Pengawas.

3.    Pendidikan dan Sosialisasi

Banyak notaris muda atau di daerah yang tidak tahu bahwa "penilaian kelayakan kantor" bisa jadi bumerang. Maka perlu dilakukan:

·         Sosialisasi tentang hak dan kewajiban notaris.

·         Pembekalan tentang pengawasan oleh MPD.

·         Panduan visual dan checklist kesiapan kantor.

 

Tips Praktis untuk Notaris

Sembari menunggu regulasi resmi, berikut beberapa langkah preventif:

·       Dokumentasikan kondisi kantor Anda (foto, denah, sertifikat tempat).

·       Arsipkan semua komunikasi dengan MPD, terutama jika ada inspeksi atau penilaian.

·       Jika menerima SP, mintalah dasar hukum dan risalah pemeriksaan secara tertulis.

·       Laporkan ke INI jika terjadi penilaian yang dianggap tidak objektif atau diskriminatif.

 

Penutup: Saatnya Notaris Bersatu Menuntut Kepastian

Kejadian notaris yang dikenai SP 1 karena alasan “kantor tidak layak” harus menjadi alarm bagi seluruh notaris di Indonesia. Selama belum ada regulasi resmi, maka penilaian seperti ini tidak boleh dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif.

Jabatan notaris harus dijaga wibawanya, tapi juga dilindungi kepastian hukumnya. Sudah saatnya INI, Kemenkumham, dan MPD duduk bersama untuk merumuskan standar objektif kantor notaris, agar tidak ada lagi notaris yang menjadi korban tafsir sepihak.

 

Jika Anda seorang notaris atau calon notaris yang pernah mengalami situasi serupa, atau punya pendapat tentang perlunya standar kantor notaris, bagikan cerita Anda di kolom komentar. Saatnya kita bersuara agar profesi ini semakin profesional dan terlindungi secara adil!

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia