
Tanpa Standar Resmi, Penilaian Layak atau Tidaknya Kantor Notaris Masih Kabur—Siapkah Anda Menghadapinya?
Bayangkan Anda adalah
notaris baru. Bersusah payah membuka kantor sendiri dengan modal pas-pasan. Kantor
anda sederhana tapi fungsional, ada meja, kursi, ruang kecil untuk arsip, dan
tentu saja semangat untuk melayani masyarakat secara profesional.
Tapi suatu hari,
datanglah kabar tak mengenakkan: Anda mendapat Surat Peringatan (SP 1)
dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Alasannya? Kantor Anda dianggap tidak
layak. Tidak ada pelanggaran etik. Tidak ada masalah dalam pembuatan akta.
Hanya penilaian sepihak dari MPD tentang kondisi kantor.
Lalu Anda
bertanya-tanya: "Memangnya, di mana sih aturan yang menjelaskan kantor
notaris harus seperti apa?"
Jawabannya
mengejutkan: belum ada pengaturan resmi yang baku dan objektif tentang
standar kelayakan kantor notaris. Yang ada hanya frasa dalam undang-undang yang
menyebut notaris harus memiliki "kantor tetap". Tapi bagaimana
bentuknya, seberapa luas, dan fasilitas apa saja yang wajib ada, semuanya
dibiarkan dalam ruang tafsir yang kabur.
Masalah ini bukan
sekadar soal kenyamanan atau estetika. Bagi notaris muda yang baru mulai
berpraktik, penilaian sepihak semacam ini bisa berdampak serius. Nama baik bisa
tercoreng, kepercayaan klien runtuh, dan karier yang baru dirintis bisa
terancam sebelum berkembang.
Artikel ini akan
mengupas tuntas celah hukum di balik standar kantor notaris yang belum jelas,
serta bagaimana ketidakpastian ini bisa menjadi senjata yang merugikan—dan apa
solusi ke depan agar hal seperti ini tak terus berulang.
Kantor Notaris: Diatur
Tapi Tidak Jelas
Dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN), tepatnya Pasal 19 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 yang
telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014, disebutkan bahwa: “Notaris
wajib mempunyai kantor di tempat kedudukannya.”
Frasa "mempunyai
kantor" terdengar sederhana, tapi menjadi rumit ketika masuk ke ranah
pelaksanaan. Apakah kantor itu harus berada di ruko? Apakah boleh di rumah
pribadi? Harus ada ruang tamu? Arsip? Brankas? Tidak satu pun disebut secara
rinci dalam UUJN.
Tidak adanya peraturan
teknis dari Kementerian Hukum dan HAM atau dari organisasi profesi tentang standar
minimal kelayakan kantor notaris membuka ruang tafsir yang sangat luas.
Akibatnya, MPD bisa saja membuat penilaian subyektif berdasarkan selera atau
standar tidak tertulis.
Ketika Penafsiran Jadi
Ancaman: Kasus Surat Peringatan
Salah satu contoh
nyata terjadi ketika seorang notaris mendapatkan Surat Peringatan (SP 1)
dari MPD hanya karena kantor yang dinilai “tidak layak”. Tidak ada pelanggaran
kode etik, tidak ada pelanggaran hukum. Hanya soal kondisi fisik kantor. Tapi
konsekuensinya serius—nama baik tercoreng, dan bisa menjadi batu loncatan
menuju SP 2 dan SP 3, yang bahkan dapat berujung pada pemberhentian sementara.
Masalahnya, MPD tidak
pernah menjelaskan secara rinci apa indikator "layak" itu. Apakah
soal ukuran ruangan? Interior? Ada atau tidaknya pendingin ruangan? Dan ini
menimbulkan pertanyaan serius: di mana keadilan ketika aturan pun tak tersedia?
Kekosongan Hukum =
Celah Penyalahgunaan Wewenang?
Dalam sistem hukum
yang ideal, setiap sanksi administratif harus memiliki dasar hukum yang
jelas dan terukur. Jika tidak, maka tindakan tersebut bisa dianggap maladministrasi
atau bahkan penyalahgunaan wewenang.
Majelis Pengawas
memang memiliki fungsi pengawasan sesuai Pasal 66 UUJN. Tapi fungsi
pengawasan bukan berarti kewenangan mutlak tanpa batas. Mereka tidak bisa
menciptakan norma baru, apalagi memberlakukan standar yang tidak pernah
disahkan secara resmi oleh lembaga berwenang seperti Menteri Hukum dan HAM atau
Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Perbandingan: Profesi
Lain Punya Standar Kantor
Untuk menilai urgensi
masalah ini, mari bandingkan dengan profesi lain:
· Dokter umum: Standar praktik dokter diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan,
lengkap dengan ukuran ruang, tempat steril, dan lainnya.
· Psikolog klinis: Ada standar ruang konsultasi berdasarkan
izin praktik.
· Pengacara: Memang tidak wajib punya kantor, tapi jika punya, tidak pernah ada
sanksi administratif karena bentuk kantor yang tidak sesuai.
Notaris, sebagai
pejabat umum, justru memegang jabatan yang berkaitan langsung dengan
kepercayaan publik dan negara. Seharusnya ada standar minimal kantor notaris
untuk menjamin integritas, keamanan, dan kerahasiaan dokumen. Tapi sayangnya,
standar ini belum pernah disahkan secara resmi.
Bahaya dari Ketidakpastian
Hukum
Dalam prinsip-prinsip
hukum administrasi negara, dikenal asas legalitas dan kepastian hukum. Artinya,
setiap tindakan pejabat negara (termasuk MPD) harus didasarkan pada hukum
tertulis yang jelas. Jika tidak, maka:
· Tindakan itu rawan digugat di PTUN.
· Menimbulkan ketidakadilan bagi notaris
yang taat.
· Membuka celah untuk diskriminasi atau
praktik tidak sehat, termasuk "like and dislike".
Dan yang paling
penting: hal ini bisa membuat notaris hidup dalam ketakutan administratif,
karena tidak tahu kapan kantor mereka akan dianggap "tidak layak".
Solusi: Mendesak
Dibuatnya Standar Resmi
Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan
langkah-langkah konkret:
1. Peraturan Teknis dari Kemenkumham
Kementerian Hukum dan HAM, melalui Direktorat Jenderal AHU, perlu
mengeluarkan Peraturan Menteri atau Keputusan Dirjen yang menetapkan:
·
Ukuran minimal kantor.
·
Fasilitas yang wajib
ada (ruang tunggu, ruang arsip, meja tanda tangan, dll).
·
Sistem keamanan dan
kerahasiaan dokumen.
2. Inisiatif Organisasi Profesi
Ikatan Notaris Indonesia (INI) dapat menyusun
pedoman standar kantor notaris, yang disepakati dalam Kongres atau
Rakernas, dan dijadikan acuan internal oleh seluruh Majelis Pengawas.
3. Pendidikan dan Sosialisasi
Banyak notaris muda atau di daerah yang tidak
tahu bahwa "penilaian kelayakan kantor" bisa jadi bumerang. Maka
perlu dilakukan:
·
Sosialisasi tentang
hak dan kewajiban notaris.
·
Pembekalan tentang
pengawasan oleh MPD.
·
Panduan visual dan
checklist kesiapan kantor.
Tips Praktis untuk
Notaris
Sembari menunggu regulasi resmi, berikut
beberapa langkah preventif:
· Dokumentasikan kondisi kantor Anda (foto, denah, sertifikat tempat).
· Arsipkan semua komunikasi dengan MPD, terutama jika ada inspeksi atau penilaian.
· Jika menerima SP, mintalah dasar hukum dan
risalah pemeriksaan secara tertulis.
· Laporkan ke INI jika terjadi penilaian yang
dianggap tidak objektif atau diskriminatif.
Penutup: Saatnya
Notaris Bersatu Menuntut Kepastian
Kejadian notaris yang
dikenai SP 1 karena alasan “kantor tidak layak” harus menjadi alarm bagi
seluruh notaris di Indonesia. Selama belum ada regulasi resmi, maka
penilaian seperti ini tidak boleh dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi
administratif.
Jabatan notaris harus
dijaga wibawanya, tapi juga dilindungi kepastian hukumnya. Sudah saatnya
INI, Kemenkumham, dan MPD duduk bersama untuk merumuskan standar objektif
kantor notaris, agar tidak ada lagi notaris yang menjadi korban tafsir
sepihak.
Jika Anda seorang
notaris atau calon notaris yang pernah mengalami situasi serupa, atau punya
pendapat tentang perlunya standar kantor notaris, bagikan cerita Anda di kolom
komentar. Saatnya kita bersuara agar profesi ini semakin profesional dan
terlindungi secara adil!
comment 0 Comment
more_vert