
Pendahuluan: Dari Aset
Digital ke Gaya Hidup Keuangan Baru
Beberapa tahun terakhir, istilah kripto atau cryptocurrency
sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, sebagian orang tua
yang dulu hanya mengenal tabungan di bank, kini mulai bertanya-tanya tentang Bitcoin,
Ethereum, hingga dogecoin. Di sisi lain, anak muda perkotaan
dengan percaya diri menyebut diri mereka sebagai crypto investor,
meskipun baru beli koin senilai ratusan ribu rupiah.
Fenomena ini mencerminkan sesuatu yang besar: kripto bukan lagi
semata urusan teknologi, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan keuangan
masyarakat. Bukan hanya instrumen spekulasi, tetapi juga bagian dari
strategi menyimpan nilai, bahkan portofolio investasi jangka panjang.
Namun, dengan pertumbuhan ini, muncul pertanyaan penting: sebenarnya
bagaimana posisi hukum kripto di Indonesia? Apakah sudah diatur dengan jelas?
Siapa yang bertanggung jawab mengawasinya? Dan apa yang akan berubah dalam
waktu dekat?
Tulisan ini akan mengajak Anda menyusuri perubahan besar dalam
eksistensi kripto di Indonesia: dari yang awalnya dianggap komoditas
perdagangan, menjadi instrumen keuangan yang diawasi secara ketat oleh OJK.
Kripto di Indonesia:
Awalnya Dianggap Komoditas
Ketika masyarakat
mulai mengenal Bitcoin sekitar tahun 2017–2018, banyak yang bingung bagaimana
memperlakukan kripto ini: apakah sebagai uang, saham, barang, atau sesuatu yang
lain?
Jawaban resmi dari
negara kala itu cukup jelas: kripto adalah komoditas digital. Ini
ditegaskan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),
sebuah lembaga di bawah Kementerian Perdagangan. Melalui sejumlah peraturan
seperti Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019, kripto dikategorikan sebagai komoditas
yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka.
Dengan status
tersebut, kripto bukan dianggap uang, bukan saham, dan bukan juga alat
pembayaran yang sah. Ia berada dalam ranah perdagangan digital,
berdampingan dengan komoditas lain seperti emas, karet, dan kopi — hanya saja
dalam bentuk non-fisik.
Era Bappebti: Regulasi
Exchange dan Bursa Kripto
Di bawah pengawasan
Bappebti, sejumlah langkah pengaturan pun dilakukan:
· Exchange kripto seperti Indodax, Tokocrypto,
dan lainnya diharuskan terdaftar dan memiliki izin resmi.
· Negara mengatur jenis koin yang boleh
diperjualbelikan, dengan penilaian aspek teknologi, ekonomi, dan risiko
keamanan.
· Disusun pula rencana membentuk bursa aset
kripto, lembaga kliring, dan kustodian aset digital, mirip
seperti sistem di pasar modal.
Ini menandai era awal
“pelembagaan” kripto di Indonesia. Transaksi kripto mulai mendapat legalitas,
investor retail merasa lebih aman, dan negara mulai menaruh perhatian pada tata
kelola dan pajaknya.
Namun, di tengah semua
ini, muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah pendekatan komoditas masih
relevan? Apalagi kripto kini sudah digunakan untuk pinjaman, pembayaran,
bahkan tokenisasi aset dunia nyata (real estate, karya seni, dsb).
Lahirnya UU PPSK dan
Pergeseran Cara Pandang Hukum
Jawaban atas
pertanyaan itu datang pada akhir 2022, ketika DPR mengesahkan Undang-Undang
No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Inilah titik balik paling penting dalam sejarah kripto Indonesia.
Melalui UU PPSK,
negara secara resmi menggeser posisi kripto: Kripto bukan lagi komoditas
biasa, melainkan bagian dari “aset keuangan digital”.
Lebih jauh, UU PPSK
menyebutkan bahwa kripto masuk dalam kategori inovasi teknologi sektor
keuangan (ITSK), bersama dengan robo-advisor, security token
offering, dan bentuk teknologi keuangan lainnya.
Dampak hukum dari
penggeseran ini sangat besar: pengawasan atas kripto akan dialihkan dari
Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK dan Masa Transisi
Pengawasan (2023–2025)
UU PPSK memberikan
waktu dua tahun masa transisi, yaitu sejak Januari 2023 sampai 12
Januari 2025. Dalam masa ini, terjadi pembagian peran:
· Bappebti masih menjalankan tugas pengawasan harian atas exchange dan bursa
kripto.
· OJK mulai menyusun peta jalan dan kerangka pengawasan baru, termasuk
klasifikasi instrumen keuangan digital.
Kolaborasi antara
kedua lembaga ini bertujuan agar peralihan tidak mengganggu pasar dan tidak
menciptakan kekosongan hukum.
Di sisi lain,
perusahaan kripto pun mulai bersiap. Beberapa exchange besar sudah memperbaiki
sistem keamanan, menyusun pelaporan keuangan lebih transparan, bahkan membentuk
lembaga kustodian agar sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan dana
nasabah versi OJK.
Apa yang Akan Berubah
Mulai 2025?
Ketika tongkat
pengawasan sepenuhnya berpindah ke OJK, maka kripto akan diperlakukan bukan
lagi sebagai barang dagangan digital, tapi sebagai bagian dari sistem jasa
keuangan. Dampaknya meliputi:
- Exchange akan diperlakukan seperti
perusahaan sekuritas → harus memenuhi standar tata kelola, audit,
kepatuhan, dan pelaporan berkala.
- Investor akan mendapat perlindungan
lebih kuat, termasuk hak
atas informasi, pengaduan, dan jaminan atas dana yang disetor.
- Jenis kripto akan diklasifikasikan lebih
tajam: mana yang
tergolong utility token, security token, atau instrumen derivatif.
- Inovasi seperti peer-to-peer crypto
lending, staking, dan tokenisasi aset akan mulai diatur secara spesifik.
Mengapa Transisi Ini
Penting Bagi Masyarakat dan Investor?
Bagi sebagian orang,
perubahan pengawasan ini mungkin terlihat teknis belaka. Tapi sebenarnya, ini
menyangkut masa depan industri kripto dan keamanan investasi masyarakat.
Bayangkan jika Anda
menyimpan aset digital bernilai ratusan juta rupiah, tapi tidak ada jaminan
hukum yang kuat saat exchange mengalami gangguan atau kebangkrutan. Atau Anda
menjadi korban manipulasi harga, tapi tidak tahu ke mana harus mengadu.
Dengan OJK sebagai otoritas, ada harapan
lebih besar bahwa dunia kripto akan memiliki aturan main yang lebih adil,
transparan, dan berpihak pada pengguna. Sama seperti yang terjadi di pasar
modal atau industri perbankan saat ini.
Penutup: Era Baru,
Peluang Baru – dan Tantangan Regulasi
Eksistensi kripto di
Indonesia sedang memasuki babak baru. Dari sekadar tren digital yang
diasosiasikan dengan spekulasi, kini kripto mulai diakui sebagai bagian dari
ekosistem keuangan formal.
Transisi ini bukan
tanpa tantangan. Negara harus mengejar ketertinggalan regulasi, pelaku industri
harus meningkatkan standar profesionalisme, dan masyarakat perlu diedukasi agar
tidak terjebak dalam euforia tanpa memahami risiko.
Namun jika semua
berjalan baik, kita bisa membayangkan masa depan di mana kripto menjadi salah
satu alternatif keuangan yang sah, aman, dan setara dengan instrumen lain
seperti deposito, obligasi, bahkan properti.
Era komoditas mungkin akan berakhir, tapi era
instrumen keuangan digital baru saja dimulai.
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri “Kripto dan Masa Depan Regulasi Keuangan di Indonesia”. Nantikan seri berikutnya: “Membangun Ekosistem Kripto yang Teregulasi: Kewenangan dan Visi OJK”
comment 0 Comment
more_vert