MASIGNCLEAN101

Dari Komoditas ke Instrumen Keuangan: Menyambut Era Baru Eksistensi Kripto di Indonesia (Seri 1)

Dari Komoditas ke Instrumen Keuangan: Menyambut Era Baru Eksistensi Kripto di Indonesia (Seri 1)
Wednesday, July 30, 2025

 

oleh: Agus Suhariono


Pendahuluan: Dari Aset Digital ke Gaya Hidup Keuangan Baru

Beberapa tahun terakhir, istilah kripto atau cryptocurrency sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, sebagian orang tua yang dulu hanya mengenal tabungan di bank, kini mulai bertanya-tanya tentang Bitcoin, Ethereum, hingga dogecoin. Di sisi lain, anak muda perkotaan dengan percaya diri menyebut diri mereka sebagai crypto investor, meskipun baru beli koin senilai ratusan ribu rupiah.

Fenomena ini mencerminkan sesuatu yang besar: kripto bukan lagi semata urusan teknologi, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan keuangan masyarakat. Bukan hanya instrumen spekulasi, tetapi juga bagian dari strategi menyimpan nilai, bahkan portofolio investasi jangka panjang.

Namun, dengan pertumbuhan ini, muncul pertanyaan penting: sebenarnya bagaimana posisi hukum kripto di Indonesia? Apakah sudah diatur dengan jelas? Siapa yang bertanggung jawab mengawasinya? Dan apa yang akan berubah dalam waktu dekat?

Tulisan ini akan mengajak Anda menyusuri perubahan besar dalam eksistensi kripto di Indonesia: dari yang awalnya dianggap komoditas perdagangan, menjadi instrumen keuangan yang diawasi secara ketat oleh OJK.

 

Kripto di Indonesia: Awalnya Dianggap Komoditas

Ketika masyarakat mulai mengenal Bitcoin sekitar tahun 2017–2018, banyak yang bingung bagaimana memperlakukan kripto ini: apakah sebagai uang, saham, barang, atau sesuatu yang lain?

Jawaban resmi dari negara kala itu cukup jelas: kripto adalah komoditas digital. Ini ditegaskan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sebuah lembaga di bawah Kementerian Perdagangan. Melalui sejumlah peraturan seperti Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019, kripto dikategorikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka.

Dengan status tersebut, kripto bukan dianggap uang, bukan saham, dan bukan juga alat pembayaran yang sah. Ia berada dalam ranah perdagangan digital, berdampingan dengan komoditas lain seperti emas, karet, dan kopi — hanya saja dalam bentuk non-fisik.

 

Era Bappebti: Regulasi Exchange dan Bursa Kripto

Di bawah pengawasan Bappebti, sejumlah langkah pengaturan pun dilakukan:

·    Exchange kripto seperti Indodax, Tokocrypto, dan lainnya diharuskan terdaftar dan memiliki izin resmi.

·    Negara mengatur jenis koin yang boleh diperjualbelikan, dengan penilaian aspek teknologi, ekonomi, dan risiko keamanan.

·    Disusun pula rencana membentuk bursa aset kripto, lembaga kliring, dan kustodian aset digital, mirip seperti sistem di pasar modal.

Ini menandai era awal “pelembagaan” kripto di Indonesia. Transaksi kripto mulai mendapat legalitas, investor retail merasa lebih aman, dan negara mulai menaruh perhatian pada tata kelola dan pajaknya.

Namun, di tengah semua ini, muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah pendekatan komoditas masih relevan? Apalagi kripto kini sudah digunakan untuk pinjaman, pembayaran, bahkan tokenisasi aset dunia nyata (real estate, karya seni, dsb).

 

Lahirnya UU PPSK dan Pergeseran Cara Pandang Hukum

Jawaban atas pertanyaan itu datang pada akhir 2022, ketika DPR mengesahkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Inilah titik balik paling penting dalam sejarah kripto Indonesia.

Melalui UU PPSK, negara secara resmi menggeser posisi kripto: Kripto bukan lagi komoditas biasa, melainkan bagian dari “aset keuangan digital”.

Lebih jauh, UU PPSK menyebutkan bahwa kripto masuk dalam kategori inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), bersama dengan robo-advisor, security token offering, dan bentuk teknologi keuangan lainnya.

Dampak hukum dari penggeseran ini sangat besar: pengawasan atas kripto akan dialihkan dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

OJK dan Masa Transisi Pengawasan (2023–2025)

UU PPSK memberikan waktu dua tahun masa transisi, yaitu sejak Januari 2023 sampai 12 Januari 2025. Dalam masa ini, terjadi pembagian peran:

·    Bappebti masih menjalankan tugas pengawasan harian atas exchange dan bursa kripto.

·    OJK mulai menyusun peta jalan dan kerangka pengawasan baru, termasuk klasifikasi instrumen keuangan digital.

Kolaborasi antara kedua lembaga ini bertujuan agar peralihan tidak mengganggu pasar dan tidak menciptakan kekosongan hukum.

Di sisi lain, perusahaan kripto pun mulai bersiap. Beberapa exchange besar sudah memperbaiki sistem keamanan, menyusun pelaporan keuangan lebih transparan, bahkan membentuk lembaga kustodian agar sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan dana nasabah versi OJK.

 

Apa yang Akan Berubah Mulai 2025?

Ketika tongkat pengawasan sepenuhnya berpindah ke OJK, maka kripto akan diperlakukan bukan lagi sebagai barang dagangan digital, tapi sebagai bagian dari sistem jasa keuangan. Dampaknya meliputi:

  1. Exchange akan diperlakukan seperti perusahaan sekuritas → harus memenuhi standar tata kelola, audit, kepatuhan, dan pelaporan berkala.
  2. Investor akan mendapat perlindungan lebih kuat, termasuk hak atas informasi, pengaduan, dan jaminan atas dana yang disetor.
  3. Jenis kripto akan diklasifikasikan lebih tajam: mana yang tergolong utility token, security token, atau instrumen derivatif.
  4. Inovasi seperti peer-to-peer crypto lending, staking, dan tokenisasi aset akan mulai diatur secara spesifik.

 

Mengapa Transisi Ini Penting Bagi Masyarakat dan Investor?

Bagi sebagian orang, perubahan pengawasan ini mungkin terlihat teknis belaka. Tapi sebenarnya, ini menyangkut masa depan industri kripto dan keamanan investasi masyarakat.

Bayangkan jika Anda menyimpan aset digital bernilai ratusan juta rupiah, tapi tidak ada jaminan hukum yang kuat saat exchange mengalami gangguan atau kebangkrutan. Atau Anda menjadi korban manipulasi harga, tapi tidak tahu ke mana harus mengadu.

Dengan OJK sebagai otoritas, ada harapan lebih besar bahwa dunia kripto akan memiliki aturan main yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada pengguna. Sama seperti yang terjadi di pasar modal atau industri perbankan saat ini.

 

Penutup: Era Baru, Peluang Baru – dan Tantangan Regulasi

Eksistensi kripto di Indonesia sedang memasuki babak baru. Dari sekadar tren digital yang diasosiasikan dengan spekulasi, kini kripto mulai diakui sebagai bagian dari ekosistem keuangan formal.

Transisi ini bukan tanpa tantangan. Negara harus mengejar ketertinggalan regulasi, pelaku industri harus meningkatkan standar profesionalisme, dan masyarakat perlu diedukasi agar tidak terjebak dalam euforia tanpa memahami risiko.

Namun jika semua berjalan baik, kita bisa membayangkan masa depan di mana kripto menjadi salah satu alternatif keuangan yang sah, aman, dan setara dengan instrumen lain seperti deposito, obligasi, bahkan properti.

Era komoditas mungkin akan berakhir, tapi era instrumen keuangan digital baru saja dimulai.

 

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri “Kripto dan Masa Depan Regulasi Keuangan di Indonesia”. Nantikan seri berikutnya: “Membangun Ekosistem Kripto yang Teregulasi: Kewenangan dan Visi OJK”

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia