
1. Mengapa Notaris Begitu Penting?
Notaris adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
negara untuk membuat akta autentik. Akta ini punya bobot hukum lebih kuat
daripada akta di bawah tangan. Maka, dalam sengketa hukum, baik pidana maupun perdata, akta notaris sering jadi “aktor utama” dalam pembuktian.
Tapi, di balik kekuatan akta autentik, ada satu
dilema: bagaimana jika akta tersebut diduga terkait tindak pidana? Haruskah
notarisnya diperiksa oleh penyidik dan jaksa?
2. Majelis Kehormatan
Notaris (MKN): Guardian of the Profession
Pasal 66 UU Jabatan Notaris menegaskan: untuk
memeriksa notaris, penyidik/jaksa/hakim wajib meminta izin terlebih dahulu ke Majelis
Kehormatan Notaris (MKN).
Mengapa?
- Perlindungan profesi: agar notaris tidak dijadikan “korban” dalam setiap sengketa yang
menggunakan akta.
- Menjaga martabat jabatan: karena notaris tidak membuat akta berdasarkan kehendaknya sendiri,
melainkan dari keterangan para penghadap.
- Mencegah kriminalisasi: tanpa filter, notaris bisa ditarik masuk ke proses pidana hanya
karena salah satu pihak merasa dirugikan.
Jadi, wajar bila MKN wajib berhati-hati. Jika
penyidik hanya menulis “minta keterangan terkait pembuatan akta” tanpa
menjelaskan urgensinya, MKN bisa menolak. Dalam pandangan MKN, akta autentik
harus dianggap benar terlebih dahulu, kecuali ada bukti kuat yang
membantahnya.
3. Penyidik dan Jaksa:
Penjaga Due Process of Law
Di sisi lain, penyidik dan jaksa punya kewajiban
lain: menjamin proses hukum berjalan adil dan tuntas.
- Dalam KUHAP, berkas perkara baru bisa P21 (lengkap) jika seluruh
keterangan saksi, termasuk notaris, sudah diperiksa.
- Tanpa pemeriksaan notaris, jaksa sering mengembalikan berkas ke
penyidik (P19) dengan catatan: “periksa notaris dulu.”
- Dari perspektif due process, penyidik memang harus menggali semua
pihak yang relevan agar kebenaran materiil terungkap.
Artinya, penyidik/jaksa tidak bisa semata-mata puas
dengan asas “akta authentik dianggap benar” tanpa memastikan apakah prosedur
formil pembuatan akta telah dipenuhi.
4. Konflik Kewenangan:
Perlindungan Profesi vs. Proses Penegakan Hukum
Di sinilah benturan terjadi:
- MKN berdiri di sisi
notaris, menjaga agar jabatan tidak dilemahkan oleh kriminalisasi.
- Penyidik/jaksa berdiri di sisi due process, memastikan tidak ada bukti yang
“terlewat” demi keadilan.
Keduanya sama-sama benar, tapi punya prioritas
berbeda.
5. Kunci Permasalahan:
Urgensi
Kunci agar MKN memberi izin terletak pada kemampuan
penyidik/jaksa menjelaskan urgensi.
- Bukan sekadar: “kami ingin periksa notaris,”
- Tapi harus: “ada bukti yang mengindikasikan prosedur notarial dilanggar,
sehingga perlu klarifikasi langsung dari notaris.”
Kalau argumen ini kuat, MKN punya dasar etis dan
yuridis untuk membuka pintu pemeriksaan.
6. Jalan Tengah: Sinergi,
Bukan Tarik-Ulur
Agar konflik kewenangan ini tidak berlarut, perlu:
- Standarisasi alasan permohonan izin: penyidik/jaksa wajib menyebut bukti awal yang relevan.
- Transparansi MKN: alasan penolakan/persetujuan dibuat jelas agar tidak menimbulkan
kesan menghambat proses hukum.
- Koordinasi lintas lembaga: antara Polri, Kejaksaan, dan MKN untuk menyusun SOP bersama.
Dengan begitu, perlindungan jabatan notaris tetap
terjaga, tapi tanpa mengorbankan hak masyarakat atas keadilan.
7. Penutup
Jadi, apakah MKN menghambat penegakan hukum? Tidak
juga. MKN hanya menjalankan fungsinya sebagai guardian of notarial
profession. Justru tantangan terbesar ada pada penyidik dan jaksa:
bagaimana meyakinkan MKN bahwa pemeriksaan notaris memang urgen dan tidak
sekadar formalitas.
Karena pada akhirnya, perlindungan profesi dan
penegakan hukum harus berjalan beriringan. Notaris perlu dijaga
martabatnya, tetapi masyarakat juga berhak atas due process yang adil.
Catatan Tambahan:
Contoh Kasus / Putusan & Praktik Nyata
Contoh Kasus Nyata
Salah satu contoh yang paling menonjol adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019, di mana MK menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 66 UU Jabatan Notaris. Artinya, kewajiban penyidik/jaksa untuk meminta persetujuan dari MKN dalam pemeriksaan notaris dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kasus ini menguatkan bahwa ketentuan persetujuan bukan sekadar ritual administratif, melainkan bagian dari regulasi yang diakui konstitusional.
Di dalam praktik, misalnya di Sumatera Selatan pada tahun 2024, Penyidik Kepolisian meminta izin pemanggilan notaris dan fotokopi minuta akta ke MKN Wilayah. MKN kemudian menggelar rapat pemeriksaan terhadap notaris untuk mendengar keterangannya, sebelum memutuskan apakah akan memberikan persetujuan atau menolak. Proses ini memperlihatkan bahwa permohonan yang disusun dengan jelas mengenai dugaan tindak pidana dan keterkaitan minuta akta mampu membuat MKN merespon secara formal.
Namun begitu, tetap ada gap: jika surat permohonan izin dari penyidik tidak mencantumkan bukti awal yang spesifik, atau urgensi tidak dijelaskan, terkadang MKN tidak langsung menyetujui. Dan ini menyebabkan berkas kerap dikembalikan ke penyidik (belum P21) sehingga proses agak terhambat.
comment 0 Comment
more_vert