Menuju Unifikasi Pelayanan Kewarisan: Dukcapil Sebagai Instansi Tunggal Pencatatan Waris
🏛️ Dari Niat Baik Menuju Kekacauan
Sistem
Sejak
terbitnya Pasal 111 Permen ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021, masyarakat
Indonesia yang ingin membuat Surat atau Akta Keterangan Waris (SKW/AKW) diberi
banyak pilihan: bisa lewat Notaris, Balai Harta Peninggalan (BHP), Lurah–Camat, bahkan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam.
Secara
niat, aturan ini lahir dari semangat baik: memudahkan masyarakat mendapatkan
dokumen kewarisan tanpa harus menghadapi birokrasi rumit.
Namun dalam praktik, justru menimbulkan Pluralisme Pejabat yang
membingungkan.
Dokumen
dengan judul sama, “Keterangan Waris”, bisa diterbitkan oleh pejabat berbeda
dengan bentuk dan kekuatan hukum berbeda pula:
- Lurah–camat menerbitkan
surat biasa,
- Notaris membuat akta
otentik,
- BHP menggunakan format
administratif kolonial,
- Pengadilan agama
mengeluarkan penetapan yudisial.
Padahal,
keempatnya berfungsi sama: membuktikan
siapa ahli waris sah.
Akibatnya, hukum waris Indonesia kini seperti orkestra tanpa dirigen: semua
main, tapi tidak serempak.
⚖️ Ketika Pengadilan Menjadi
Pejabat Administrasi
Sejak revisi
UU Peradilan Agama (UU No. 3 Tahun 2006), pengadilan agama diberi
kewenangan menetapkan siapa ahli waris sah bagi umat Islam.
Awalnya, kewenangan ini dimaksudkan untuk menyelesaikan Sengketa Waris
(Contentius).
Namun dalam praktik, permohonan penetapan ahli waris tanpa sengketa
(Voluntair) justru lebih banyak.
Akibatnya,
pengadilan agama kini juga menjalankan fungsi administratif: melayani permohonan penetapan ahli waris tanpa perkara.
Dalam teori negara hukum, ini adalah anomaly, pengadilan seharusnya menyelesaikan sengketa,
bukan melayani administrasi.
Hal ini
menimbulkan pertanyaan mendasar:
⚖️ Notaris : Antara Tanggung Jawab
dan Ketakutan
Sejak
kasus Notaris Maria Martha Lomanto di Surabaya, yang dijatuhi pidana
karena membuat SKW bagi warga keturunan Tionghoa, banyak notaris memilih tidak
lagi melayani pembuatan AKW.
Mereka khawatir akan terseret perkara pidana jika di kemudian hari data ahli
waris ternyata tidak akurat.
Akibatnya,
komunitas penduduk yang tunduk pada KUHPerdata (BW) kesulitan mendapatkan bukti kewarisan yang
sah.
Pemerintah pun mencoba menambal dengan Pasal 111 Permen ATR/BPN No. 16/2021, memberi
pilihan lebih banyak.
Namun solusi “menambah pintu” justru membuat rumah hukum waris makin penuh
pejabat.
⚖️ Pluralisme Pejabat: Niat Baik
yang Mengaburkan Hukum
Dari
kacamata sosiologi hukum, pluralisme pejabat SKW adalah kompromi antara dua
nilai:
- Aksesibilitas – masyarakat mudah mendapat
layanan;
- Kepastian hukum – satu format dan tanggung
jawab yang jelas.
Sayangnya,
kebijakan ini lebih condong ke nilai pertama.
Hasilnya, kepastian hukum dikorbankan.
Masing-masing pejabat mengeluarkan dokumen versinya sendiri, tanpa standar
nasional, tanpa basis data terpadu.
Padahal, substansi yang hendak dibuktikan sama: siapa ahli waris dari seseorang
yang telah meninggal dunia.
🧩 Mencari Jalan Tengah: Mengapa Bukan
Dukcapil?
Kalau tujuan kebijakan adalah menyatukan administrasi kewarisan, maka logika hukum dan administrasi justru menunjukkan satu instansi paling cocok:
Dukcapil
tahu:
- siapa pewaris (karena punya
akta kematian),
- siapa pasangan dan
anak-anaknya (karena punya data KK dan akta kelahiran),
- kapan peristiwa itu terjadi.
Artinya, data
kewarisan sudah ada di dalam sistem kependudukan.
🏛️ Desain Unifikasi yang Mungkin
Diterapkan
Jika negara menata ulang alur administrasi kewarisan mungkin bisa di desain seperti ini:
- Dukcapil menerbitkan Surat
Pencatatan Kewarisan (SPK)
- bersifat administratif deklaratif, menyatakan siapa ahli waris sah menurut data kependudukan.
tidak menentukan pembagian harta, hanya hubungan hukum keluarga. - Notaris melanjutkan ke tahap
perbuatan hukum,
misalnya:
- pembagian warisan,
- perjanjian pembagian
bersama,
- penjualan harta waris, dsb.
- Pengadilan menangani jika
ada sengketa
antara para ahli waris.
Dengan
model ini, fungsi setiap lembaga menjadi jelas:
- Dukcapil : mencatat
- Notaris / PPAT : mengesahkan perbuatan hukum, misal pembagian harta warisan
- Pengadilan : menyelesaikan sengketa.
⚙️ Keunggulan Sistem Satu Pintu
Aspek |
Keuntungan |
Kepastian
hukum |
Hanya
satu instansi yang berwenang mencatat hubungan kewarisan. |
Efisiensi
administrasi |
Tidak
perlu bolak-balik ke camat, notaris, atau pengadilan untuk hal yang sama. |
Integrasi
data nasional |
Langsung
terhubung dengan NIK, KK, dan akta kematian. |
Perlindungan
bagi pejabat |
Notaris
dan hakim tidak lagi menanggung risiko administratif akibat data keluarga
yang salah. |
Keadilan
sosial |
Semua
warga, tanpa melihat agama atau sistem hukum waris, mendapat layanan yang
setara. |
💡 Filosofi di Baliknya
Filosofi
dasarnya sederhana:
Kewarisan
bukan hanya urusan perdata, tapi juga bagian dari peristiwa kependudukan.
Ketika
seseorang meninggal, status hukumnya beralih, bukan hanya terhadap hartanya,
tapi juga terhadap sistem sosial keluarga.
Maka, negara mestinya mencatat perubahan itu dalam sistem administrasi
kependudukan, bukan menyerahkannya ke empat pejabat yang berbeda-beda.
🕊️ Penutup Reflektif
Dukcapil
adalah rumah data manusia Indonesia, sejak kita lahir sampai kita meninggal.
Sudah saatnya lembaga yang mencatat akhir kehidupan juga diberi kewenangan
mencatat siapa yang mewarisi kehidupan itu.
Sudah saatnya kita memikirkan kembali instansi/pejabat yang paling tepat dan relevan memegang otoritas kewarisan di negeri ini. Apakah notaris, pengadilan, atau Catatan Sipil?
Bagikan pandangan anda di kolom komentar, karena reformasi administrasi waris tidak akan lahir tanpa suara dari para praktisi dan masyarakat yang mengalaminya langsung.
Post a Comment for "Menuju Unifikasi Pelayanan Kewarisan: Dukcapil Sebagai Instansi Tunggal Pencatatan Waris"
Post a Comment