Akta Keterangan Waris dalam Kekosongan Norma: Antara Ketetapan, Kekeliruan, dan Fiktif Positif Kewenangan Notaris
🏛️ Pendahuluan:
Pada
artikel sebelumnya yang berjudul:
“Menuju Unifikasi Pelayanan Kewarisan: Dukcapil Sebagai Instansi Tunggal
Pencatatan Waris”
telah
dibahas terjadinya pluralisme pejabat yang menerbitkan keterangan waris, dengan
rekomendasi diserahkan kepada Dukcapil.
Senyampang unifikasi pejabat pembuat Keterangan Waris belum terwujud, Notaris masih tetap dapat melayani kewarisan. Namun posisi ini tidak selalu aman.
Hampir tidak pernah terdengar Lurah, Camat, Hakim Pengadilan Agama, atau pejabat Balai Harta Peninggalan (BHP) dipidana karena menerbitkan SKW, tetapi ada beberapa notaris yang justru menjadi target pidana.
Mengapa?
Karena
posisi notaris diatur ketat oleh UU Jabatan Notaris (UUJN), sehingga setiap kesalahan
dalam bentuk akta dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.
Tulisan
ini mencoba memberikan pemahaman sekaligus panduan praktis agar notaris dapat
tetap memberikan pelayanan kewarisan secara aman, sah, dan profesional.
⚖️Akta
Ketetapan yang Tak Pernah Dihadirkan
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN) menyebutkan bahwa notaris berwenang membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
atau yang dikehendaki oleh pihak berkepentingan...
Namun, tidak ada satu
pun norma eksplisit yang menjelaskan bagaimana bentuk “akta ketetapan” itu
seharusnya dibuat.
UUJN hanya memberi rumus umum untuk akta pihak, mulai dari pembukaan,
komparisi, isi, hingga penutup, tanpa membedakan antara akta pihak (partij
akte) dan akta pejabat (ambtelijke akte).
Akibatnya, dua bentuk akta (partij
dan relaas) yang secara konseptual berbeda disamakan dalam prosedur,
sementara diksi “ketetapan hukum” yang seharusnya menjadi domain pejabat publik,
tidak pernah dilahirkan secara normatif.
⚖️
Ketetapan yang Hilang dari UUJN
Dalam hukum kenotariatan, ketetapan hukum adalah
pernyataan pejabat yang menegaskan suatu keadaan hukum berdasarkan data dan
fakta yang diverifikasi, bukan hasil kesepakatan para pihak.
Jenis akta seperti ini mestinya menjadi akta pejabat, misalnya akta
berita acara undian, sumpah, RUPS, akta keterangan seperti akta keterangan
waris (AKW).
Sayangnya, UUJN tidak mengatur lebih
lanjut baik definisi, bentuk, tata cara, maupun konsekuensi hukum dari akta
jenis ini.
📜 Fenomena Brevet Lahir dari Kekosongan
“Brevet keterangan waris” muncul
bukan karena kesembronoan, melainkan karena kekosongan norma dan tuntutan
sosial.
Masyarakat datang meminta “surat keterangan waris”, karena ketika itu berdasarkan
Surat Edaran Ditjen Agraria: bahwa SKW untuk hukum waris perdata barat, harus
dibuktikan melalui Notaris.
Maka notaris membuat surat
keterangan menggunakan kop dan tanda tangannya sendiri, tanpa minuta, tanpa
tanda tangan para pihak (sebuah surat administratif) yang menegaskan siapa ahli
warisnya berdasarkan bukti yang diperlihatkan.
Secara sosiologis, ini langkah
rasional. Secara yuridis? abu-abu (grey area).
Brevet bukan akta autentik karena
tidak memenuhi Pasal 38 UUJN, tetapi juga bukan surat di bawah tangan biasa
karena ditandatangani pejabat umum.
⚖️
Pasal 111 Permen ATR/BPN 16/2021: Solusi yang Menambah Kabut
Ketika pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021, Pasal 111 memperluas pejabat yang
dapat membuat Surat Keterangan Waris (SKW):
- Notaris,
- Balai Harta Peninggalan (BHP),
- Pengadilan Agama, dan
- Lurah atau camat.
Tujuannya adalah mempermudah
masyarakat memperoleh dokumen waris yang paling mudah baginya.
Namun di balik niat baik itu, lahir masalah baru: pluralisme pejabat dan
standar hukum ganda.
Lebih membingungkan lagi, khusus
untuk notaris digunakan istilah “Akta Keterangan Waris” (AKW), bukan “Surat Keterangan Waris”
sebagaimana pejabat lain.
Diksi “akta” menimbulkan tafsir bahwa notaris harus membuatnya dalam format akta
pihak, padahal substansinya bersifat ketetapan hukum.
⚖️
Brevet vs Akta Pihak: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu
Aspek |
Brevet
/ Surat Keterangan |
Akta
Pihak (Partij Akte) |
Dasar hukum |
Tidak diatur eksplisit dalam UUJN |
Diatur lengkap Pasal 38–54 UUJN |
Minuta |
Tidak ada |
Wajib ada |
Penandatangan |
Hanya notaris |
Para pihak + notaris |
Fungsi hukum |
Menyatakan keadaan hukum
(deklaratif) |
Mewujudkan kehendak hukum
(konstitutif) |
Kekuatan pembuktian |
Semi-administratif (bisa di bawah
tangan) |
Akta autentik penuh |
Risiko hukum |
Geje/Ambigu, bisa dianggap melampaui
wewenang |
Aman jika sesuai prosedur |
⚖️
Fiktif Positif: Rasionalisasi Kewenangan Notaris
Meski begitu, notaris tetap diakui
sebagai pejabat pembuat AKW oleh Pasal 111 Permen ATR/BPN 16/2021.
Artinya, negara secara diam-diam mengakui kewenangan notaris, tanpa
pernah menetapkannya secara eksplisit di undang-undang.
Dalam teori hukum administrasi, hal
ini dikenal sebagai fiktif positif: ketika kewenangan dianggap sah
karena dijalankan untuk kepentingan publik dan tidak ada larangan tegas.
Dengan prinsip ini, notaris tetap berwenang membuat AKW, meskipun dasar
normatifnya lemah, asalkan ia menjalankannya dengan itikad baik dan prosedur
kehati-hatian.
⚖️
Mengapa Hanya Notaris yang Bisa Dipidana
Berbeda dengan pejabat lain (BHP, hakim PA, lurah-camat) yang bekerja dalam sistem instansi, sedangkan notaris adalah pejabat umum individual.
Ia bertanggung jawab pribadi atas isi akta dan kebenaran formil yang tertuang
di dalamnya.
Maka jika akta yang dibuatnya mengandung data salah, misalnya ahli waris palsu, notaris bisa dianggap turut serta memberikan keterangan palsu dalam akta
autentik (Pasal 266 KUHP).
Pejabat lain cukup diperiksa secara
administratif, tapi notaris langsung berhadapan dengan hukum pidana.
Itulah sebabnya kasus seperti Maria Martha Lomanto terjadi: bukan karena
niat jahat, tapi karena sistem hukum tidak melindungi pejabat yang bekerja di
area abu-abu.
⚙️
Trik dan Tips Aman bagi Notaris dalam Membuat AKW
- Gunakan format akta pejabat (ambtelijke akte).
Hindari bentuk akta pihak karena AKW bukan perjanjian, melainkan ketetapan hukum deklaratif. - Lakukan verifikasi dokumen dan saksi secara ketat.
Periksa keaslian data di Dukcapil dan cantumkan hasilnya dalam minuta akta. - Tuliskan sumber data dan dasar penetapan.
Rumuskan dengan tegas bahwa keterangan berdasarkan dokumen resmi dan pengakuan para saksi yang dipercaya. - Hindari frasa “para pihak menyatakan”.
Ganti dengan “Notaris menetapkan berdasarkan keterangan dan bukti bahwa…”. - Pisahkan tanggung jawab administratif dan substansi
hukum.
Bila ada keraguan terhadap data, notaris berhak menolak pembuatan akta sesuai Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN. - Arsipkan semua bukti pemeriksaan dan pernyataan saksi.
Ini menjadi perisai hukum bila akta kelak disengketakan.
🧩
Penutup: Di Antara Kata “Ketetapan” dan Kehati-hatian
Pasal 15 UUJN memberi diksi bagi
“ketetapan”, tapi negara tidak pernah menurunkannya ke dalam bentuk norma
prosedural.
Permen ATR 16/2021 mencoba memperbaiki, namun justru menambah kabut dengan
membuka pluralisme pejabat waris.
Di tengah kekosongan ini, notaris
tetap melangkah dengan prinsip fiktif positif, melayani masyarakat sambil
menjaga martabat profesinya.
Selama ia bertumpu pada asas kehati-hatian, verifikasi, dan kejujuran
substansial, maka setiap Akta Keterangan Waris yang dibuatnya tetap memiliki
nilai legalitas dan moralitas.
Post a Comment for "Akta Keterangan Waris dalam Kekosongan Norma: Antara Ketetapan, Kekeliruan, dan Fiktif Positif Kewenangan Notaris"
Post a Comment