
Oleh: Agus Suhariono
email: agus.suhariono@gmail.com
Bayangkan Anda sedang mengikuti lelang untuk sebuah
aset yang sangat Anda inginkan, namun tiba-tiba Anda menyadari bahwa salah satu
peserta lelang adalah kreditur yang berpotensi untuk memanipulasi proses demi
kepentingannya sendiri. Ini bukan skenario fiksi, melainkan kenyataan yang
mungkin terjadi jika kita terus bergantung pada aturan lelang yang ketinggalan
zaman.
Hukum sebagai alat pengatur kehidupan sosial, harus mampu
menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, ekonomi, budaya, dan norma-norma
baru yang muncul. Hukum yang kaku akan tertinggal dan tak relevan, sehingga
berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, pembaruan hukum
diperlukan agar dapat terus berfungsi efektif, melindungi kepentingan
masyarakat, serta menciptakan keadilan yang sesuai dengan kebutuhan dan
realitas kehidupan yang selalu berubah. Dinamika hukum mencerminkan respons
atas perubahan sosial.
Aturan hukum dapat berubah melalui tiga mekanisme utama legislative
review, executive review, dan judicial review.
1. Legislative
review adalah perubahan atau revisi undang-undang yang dilakukan oleh
lembaga legislatif (DPR) bersama eksekutif (Pemerintah), yang bertugas membuat
dan mengubah peraturan perundang-undangan. Mekanisme ini terjadi melalui proses
politik dan diskusi di parlemen.
2. Executive
review melibatkan intervensi dari lembaga eksekutif, seperti
pemerintah, yang dapat mengeluarkan peraturan atau kebijakan baru untuk
menyesuaikan aturan yang ada dengan perkembangan kebijakan publik.
3. Judicial
review terjadi ketika lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Konstitusi
atau Mahkamah Agung, meninjau dan menilai konstitusionalitas suatu aturan
hukum. Jika aturan dinilai bertentangan dengan konstitusi atau prinsip hukum
lainnya, yudikatif dapat membatalkan atau menyesuaikan aturan tersebut.
Mekanisme-mekanisme
ini memastikan hukum tetap relevan dan responsif terhadap perubahan sosial dan
kebutuhan masyarakat.
Legislative review adalah mekanisme ideal dalam perubahan hukum karena menghasilkan
produk hukum berupa undang-undang yang disusun melalui proses demokratis.
Proses ini melibatkan diskusi, partisipasi publik, dan keputusan politik yang
mencerminkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian, undang-undang yang
dihasilkan bersifat formal dan memiliki legitimasi yang kuat sebagai dasar
hukum. Di sisi lain, executive review
dan judicial review lebih berfokus
pada perluasan penafsiran hukum yang sudah ada. Mekanisme ini digunakan untuk
menghindari kekosongan hukum ketika undang-undang belum mengatur secara jelas
isu-isu tertentu yang muncul akibat perkembangan zaman.
Eksekutif melalui kebijakan administratif atau peraturan pelaksana,
dan yudikatif melalui putusan pengadilan, dapat menyesuaikan dan menafsirkan
aturan hukum agar tetap relevan dan berfungsi tanpa menunggu proses legislatif
yang memakan waktu. Kedua bentuk review ini menjaga fleksibilitas dan
responsivitas hukum, namun legislatif review tetap menjadi rujukan utama dalam
perubahan hukum formal.
Meski eksekutif review dan yudikatif review memiliki keunggulan
dalam menjadikan hukum lebih dinamis dan progresif, keduanya juga memiliki
kelemahan dan kekurangan:
1. Kelemahan
Eksekutif Review
a. Rentan terhadap
kepentingan politik
Keputusan eksekutif sering kali dipengaruhi oleh agenda politik
pejabat pemerintah yang berkuasa, sehingga kebijakan yang dihasilkan mungkin
lebih mencerminkan kepentingan tertentu daripada kepentingan masyarakat luas.
b. Kurangnya partisipasi publik
Proses eksekutif review cenderung tidak melibatkan partisipasi
publik yang luas seperti dalam pembentukan undang-undang di legislatif,
sehingga keputusan yang diambil bisa kurang representatif atau tidak
mengakomodasi kepentingan semua pihak.
- Potensi inkonsistensi
Karena eksekutif review biasanya dilakukan melalui
peraturan-peraturan teknis, ada potensi tumpang tindih atau ketidaksesuaian
dengan undang-undang yang lebih tinggi, sehingga berpotensi menciptakan
ketidakpastian hukum.
2. Kelemahan Yudikatif Review
a. Penafsiran subjektif
Putusan hakim dalam yudikatif review sering kali bersifat subjektif,
karena didasarkan pada interpretasi individu hakim atau panel hakim. Hal ini
bisa menyebabkan ketidakpastian hukum jika terjadi perbedaan pandangan di
kalangan hakim.
b. Bersifat reaktif
Yudikatif review hanya dapat dilakukan ketika ada kasus konkret yang
diajukan ke pengadilan. Ini membuat perubahan hukum tidak bersifat proaktif dan
hanya terjadi ketika ada sengketa yang membutuhkan penyelesaian.
- Pembatasan ruang lingkup
Putusan pengadilan hanya berlaku pada kasus tertentu dan seringkali
terbatas pada penafsiran norma yang ada, sehingga tidak dapat menciptakan hukum
baru secara keseluruhan seperti yang dilakukan melalui proses legislasi.
Secara keseluruhan, meskipun kedua mekanisme ini menjadikan hukum
menjadi lebih responsif terhadap perubahan, namun juga memiliki keterbatasan
dalam hal legitimasi, transparansi, dan konsistensi dibandingkan dengan
perubahan yang dilakukan melalui proses legislasi.
Di Indonesia, Vendu Reglement
(VR) merupakan peraturan hukum yang mengatur lelang dan masih berlaku hingga
kini, meskipun merupakan peninggalan dari masa kolonial Belanda. VR diterbitkan
pada tahun 1908 dan tetap digunakan sebagai dasar hukum dalam kegiatan lelang
di
Untuk mengisi kekosongan hukum yang ditinggalkan oleh Vendu Reglement (VR), Menteri Keuangan
di Indonesia mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut
tentang lelang. Namun, peraturan pelaksanaan ini sering mengalami perubahan
hampir setiap tahun, yang mencerminkan sejumlah kelemahan dalam proses
pembentukannya:
1.
Perubahan peraturan pelaksanaan
lelang yang sering kali dilakukan menunjukkan bahwa regulasi ini mungkin tidak
didasarkan pada kajian yang matang. Idealnya, peraturan yang ditetapkan
seharusnya melalui proses penelitian dan analisis mendalam untuk memastikan
bahwa semua aspek, baik dari sisi teknis maupun sosial, telah dipertimbangkan.
Ketidakpastian yang dihasilkan dari perubahan yang berulang dapat mengganggu
stabilitas dan kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang.
2.
Kurangnya partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan peraturan pelaksanaan ini dapat
mengakibatkan keputusan yang tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi publik.
Proses yang inklusif dengan pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan
masyarakat, dilibatkan menjadi sangat penting untuk menghasilkan regulasi yang lebih
baik dan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.
Norma dalam peraturan/petunjuk pelaksanaan lelang (Permenkeu No. 122
Tahun 2023), yang dianggap tidak akurat dan asal-asalan adalah ketentuan yang
memungkinkan kreditur yang berstatus sebagai pemohon lelang dalam rangka parate
eksekusi untuk bertindak sebagai penjual sekaligus peserta lelang (calon
pembeli). Ketentuan ini menimbulkan konflik kepentingan yang sangat fatal.
Sebagai kreditur, mereka memiliki kepentingan langsung terhadap
hasil lelang, karena hasilnya akan mempengaruhi pemulihan utang yang mereka
klaim. Dengan posisi ganda sebagai penjual dan peserta lelang (calon pembeli),
kreditur berpotensi menggunakan pengaruhnya untuk memanipulasi proses lelang
demi keuntungan pribadi. Hal ini dapat mengurangi transparansi dan keadilan
dalam proses lelang, serta merusak integritas sistem hukum secara keseluruhan.
Regulasi semacam ini menunjukkan bahwa norma yang ditetapkan dalam
peraturan pelaksanaan tidak melalui kajian mendalam dan dapat merugikan pihak
lain yang berpartisipasi dalam lelang. Sebaiknya, peraturan lelang seharusnya
menetapkan pemisahan yang jelas antara peran kreditur sebagai pemohon lelang
dan sebagai peserta lelang untuk memastikan bahwa proses berlangsung adil dan
transparan.
Perbaikan dalam peraturan ini sangat penting untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan perlindungan hak semua pihak yang terlibat dalam proses lelang. Oleh karena itu sangat urgen untuk segera mengganti Vendu Reglement (VR) dengan peraturan hukum nasional yang lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan saat ini, terutama dalam konteks lelang eksekusi. Penggantian ini akan membantu menciptakan kerangka hukum yang lebih stabil dan jelas, serta mengurangi ketergantungan pada executive review oleh Menteri Keuangan terkait peraturan pelaksanaan lelang.
Langkah Menuju Reformasi Hukum Lelang
Untuk mewujudkan reformasi hukum lelang yang lebih baik, beberapa langkah strategis perlu diambil:
Penelitian dan Kajian Mendalam
- Sebelum membuat undang-undang baru, penting untuk melakukan penelitian dan kajian yang mendalam mengenai masalah yang ada. Ini termasuk analisis terhadap sistem lelang di negara lain, dampak hukum yang diusulkan, serta studi kasus tentang bagaimana perubahan telah mempengaruhi pelaksanaan lelang di tempat lain.
Dialog Multistakeholder
- Mengadakan dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku bisnis. Pendapat dari berbagai pihak ini sangat penting untuk mendapatkan masukan yang komprehensif dan mendorong partisipasi publik dalam proses legislasi.
Sosialisasi dan Pendidikan Hukum
- Setelah rancangan hukum disusun, penting untuk melakukan sosialisasi yang luas. Pendidikan hukum mengenai perubahan yang diusulkan harus diberikan kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam lelang. Dengan pemahaman yang baik, partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap hukum baru akan meningkat.
Pembangunan Infrastruktur
- Membangun infrastruktur yang mendukung, terutama untuk lelang elektronik. Ini termasuk sistem teknologi yang aman, antarmuka pengguna yang intuitif, dan pelatihan bagi pengguna. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dalam proses lelang.
Evaluasi dan Penyesuaian Berkala
- Setelah hukum baru diterapkan, penting untuk melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitasnya. Proses ini harus melibatkan umpan balik dari pengguna sistem lelang untuk melihat apa yang berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Penyesuaian hukum harus dilakukan berdasarkan data dan pengalaman nyata di lapangan.
Kesimpulan
Penggantian Vendu Reglement dengan hukum nasional yang lebih relevan adalah langkah yang sangat diperlukan untuk menciptakan sistem lelang yang adil dan transparan di Indonesia. Dalam konteks di mana banyak debitur merasakan tekanan dan ketidakadilan akibat regulasi yang cenderung berpihak kepada kreditur, penting untuk membangun kerangka hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Hukum baru tidak hanya harus mampu mengatasi permasalahan yang ada, tetapi juga memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses legislasi, mengakomodasi perkembangan teknologi, dan memastikan transparansi dalam pelaksanaan lelang, kita dapat menciptakan sistem lelang yang lebih baik. Melalui upaya kolektif ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap proses lelang akan meningkat, dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
Dengan mengubah pendekatan kita terhadap lelang eksekusi, kita bukan hanya memperbaiki mekanisme hukum, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya keadilan sosial yang lebih luas dalam masyarakat. Mari bersama-sama mendukung reformasi ini demi masa depan yang lebih adil dan transparan.
comment 0 Comment
more_vert