MASIGNCLEAN101

URGENSI MENGGANTI VENDU REGLEMENT MENJADI HUKUM NASIONAL UNTUK LELANG EKSEKUSI DI INDONESIA

URGENSI MENGGANTI VENDU REGLEMENT MENJADI HUKUM NASIONAL UNTUK LELANG EKSEKUSI DI INDONESIA
Sunday, October 27, 2024

Oleh: Agus Suhariono

email: agus.suhariono@gmail.com

 

Bayangkan Anda sedang mengikuti lelang untuk sebuah aset yang sangat Anda inginkan, namun tiba-tiba Anda menyadari bahwa salah satu peserta lelang adalah kreditur yang berpotensi untuk memanipulasi proses demi kepentingannya sendiri. Ini bukan skenario fiksi, melainkan kenyataan yang mungkin terjadi jika kita terus bergantung pada aturan lelang yang ketinggalan zaman.

 



 Hukum merupakan perwujudan dari kesepakatan kolektif rakyat yang diwakilkan melalui prinsip demokrasi. Dalam sistem ini, rakyat memilih wakil-wakilnya untuk merumuskan dan menetapkan aturan-aturan yang bertujuan menjaga ketertiban, keadilan, dan kepentingan bersama. Dengan adanya kesepakatan tersebut, hukum menjadi alat yang mengikat seluruh masyarakat, karena secara tidak langsung, setiap individu berperan dalam proses pembentukannya. Oleh karena itu, ketika aturan hukum ditegakkan, rakyat menerima konsekuensinya sebagai bagian dari tanggung jawab bersama untuk mematuhi aturan yang telah disepakati demi keberlangsungan tatanan sosial dan negara yang adil serta sejahtera. Walaupun demikian, hukum bukanlah bangunan statis yang tidak dapat berubah, melainkan hukum harus dinamis dan berkembang seiring dengan perubahan zaman serta perilaku masyarakat.

Hukum sebagai alat pengatur kehidupan sosial, harus mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, ekonomi, budaya, dan norma-norma baru yang muncul. Hukum yang kaku akan tertinggal dan tak relevan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, pembaruan hukum diperlukan agar dapat terus berfungsi efektif, melindungi kepentingan masyarakat, serta menciptakan keadilan yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas kehidupan yang selalu berubah. Dinamika hukum mencerminkan respons atas perubahan sosial.

Aturan hukum dapat berubah melalui tiga mekanisme utama legislative review, executive review, dan judicial  review.

1.   Legislative review adalah perubahan atau revisi undang-undang yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPR) bersama eksekutif (Pemerintah), yang bertugas membuat dan mengubah peraturan perundang-undangan. Mekanisme ini terjadi melalui proses politik dan diskusi di parlemen.

2.   Executive review melibatkan intervensi dari lembaga eksekutif, seperti pemerintah, yang dapat mengeluarkan peraturan atau kebijakan baru untuk menyesuaikan aturan yang ada dengan perkembangan kebijakan publik.

3.   Judicial review terjadi ketika lembaga yudikatif, seperti Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, meninjau dan menilai konstitusionalitas suatu aturan hukum. Jika aturan dinilai bertentangan dengan konstitusi atau prinsip hukum lainnya, yudikatif dapat membatalkan atau menyesuaikan aturan tersebut.

Mekanisme-mekanisme ini memastikan hukum tetap relevan dan responsif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat.

Legislative review adalah mekanisme ideal dalam perubahan hukum karena menghasilkan produk hukum berupa undang-undang yang disusun melalui proses demokratis. Proses ini melibatkan diskusi, partisipasi publik, dan keputusan politik yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan bersifat formal dan memiliki legitimasi yang kuat sebagai dasar hukum. Di sisi lain, executive review dan judicial review lebih berfokus pada perluasan penafsiran hukum yang sudah ada. Mekanisme ini digunakan untuk menghindari kekosongan hukum ketika undang-undang belum mengatur secara jelas isu-isu tertentu yang muncul akibat perkembangan zaman.

Eksekutif melalui kebijakan administratif atau peraturan pelaksana, dan yudikatif melalui putusan pengadilan, dapat menyesuaikan dan menafsirkan aturan hukum agar tetap relevan dan berfungsi tanpa menunggu proses legislatif yang memakan waktu. Kedua bentuk review ini menjaga fleksibilitas dan responsivitas hukum, namun legislatif review tetap menjadi rujukan utama dalam perubahan hukum formal.

Meski eksekutif review dan yudikatif review memiliki keunggulan dalam menjadikan hukum lebih dinamis dan progresif, keduanya juga memiliki kelemahan dan kekurangan:

1.   Kelemahan Eksekutif Review

a.   Rentan terhadap kepentingan politik

Keputusan eksekutif sering kali dipengaruhi oleh agenda politik pejabat pemerintah yang berkuasa, sehingga kebijakan yang dihasilkan mungkin lebih mencerminkan kepentingan tertentu daripada kepentingan masyarakat luas.

b.   Kurangnya partisipasi publik

Proses eksekutif review cenderung tidak melibatkan partisipasi publik yang luas seperti dalam pembentukan undang-undang di legislatif, sehingga keputusan yang diambil bisa kurang representatif atau tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak.

  1. Potensi inkonsistensi

Karena eksekutif review biasanya dilakukan melalui peraturan-peraturan teknis, ada potensi tumpang tindih atau ketidaksesuaian dengan undang-undang yang lebih tinggi, sehingga berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.

2.   Kelemahan Yudikatif Review

a.   Penafsiran subjektif

Putusan hakim dalam yudikatif review sering kali bersifat subjektif, karena didasarkan pada interpretasi individu hakim atau panel hakim. Hal ini bisa menyebabkan ketidakpastian hukum jika terjadi perbedaan pandangan di kalangan hakim.

b.   Bersifat reaktif

Yudikatif review hanya dapat dilakukan ketika ada kasus konkret yang diajukan ke pengadilan. Ini membuat perubahan hukum tidak bersifat proaktif dan hanya terjadi ketika ada sengketa yang membutuhkan penyelesaian.

  1. Pembatasan ruang lingkup

Putusan pengadilan hanya berlaku pada kasus tertentu dan seringkali terbatas pada penafsiran norma yang ada, sehingga tidak dapat menciptakan hukum baru secara keseluruhan seperti yang dilakukan melalui proses legislasi.

Secara keseluruhan, meskipun kedua mekanisme ini menjadikan hukum menjadi lebih responsif terhadap perubahan, namun juga memiliki keterbatasan dalam hal legitimasi, transparansi, dan konsistensi dibandingkan dengan perubahan yang dilakukan melalui proses legislasi.

Di Indonesia, Vendu Reglement (VR) merupakan peraturan hukum yang mengatur lelang dan masih berlaku hingga kini, meskipun merupakan peninggalan dari masa kolonial Belanda. VR diterbitkan pada tahun 1908 dan tetap digunakan sebagai dasar hukum dalam kegiatan lelang di Indonesia. Peraturan ini dapat dianggap sebagai aturan hukum setingkat undang-undang karena pada masa kolonial, peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial memiliki kekuatan hukum yang tinggi dan terus diakui setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan prinsip konkordansi (concordance). Meskipun statusnya sebagai produk kolonial, VR tetap sah dan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia hingga ada peraturan baru yang menggantikannya. Pada praktiknya, VR masih dijadikan landasan dalam berbagai kegiatan lelang, baik di sektor publik maupun swasta.

Untuk mengisi kekosongan hukum yang ditinggalkan oleh Vendu Reglement (VR), Menteri Keuangan di Indonesia mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut tentang lelang. Namun, peraturan pelaksanaan ini sering mengalami perubahan hampir setiap tahun, yang mencerminkan sejumlah kelemahan dalam proses pembentukannya:

1.      Perubahan peraturan pelaksanaan lelang yang sering kali dilakukan menunjukkan bahwa regulasi ini mungkin tidak didasarkan pada kajian yang matang. Idealnya, peraturan yang ditetapkan seharusnya melalui proses penelitian dan analisis mendalam untuk memastikan bahwa semua aspek, baik dari sisi teknis maupun sosial, telah dipertimbangkan. Ketidakpastian yang dihasilkan dari perubahan yang berulang dapat mengganggu stabilitas dan kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang.

2.      Kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan pelaksanaan ini dapat mengakibatkan keputusan yang tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi publik. Proses yang inklusif dengan pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan masyarakat, dilibatkan menjadi sangat penting untuk menghasilkan regulasi yang lebih baik dan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Norma dalam peraturan/petunjuk pelaksanaan lelang (Permenkeu No. 122 Tahun 2023), yang dianggap tidak akurat dan asal-asalan adalah ketentuan yang memungkinkan kreditur yang berstatus sebagai pemohon lelang dalam rangka parate eksekusi untuk bertindak sebagai penjual sekaligus peserta lelang (calon pembeli). Ketentuan ini menimbulkan konflik kepentingan yang sangat fatal.

Sebagai kreditur, mereka memiliki kepentingan langsung terhadap hasil lelang, karena hasilnya akan mempengaruhi pemulihan utang yang mereka klaim. Dengan posisi ganda sebagai penjual dan peserta lelang (calon pembeli), kreditur berpotensi menggunakan pengaruhnya untuk memanipulasi proses lelang demi keuntungan pribadi. Hal ini dapat mengurangi transparansi dan keadilan dalam proses lelang, serta merusak integritas sistem hukum secara keseluruhan.

Regulasi semacam ini menunjukkan bahwa norma yang ditetapkan dalam peraturan pelaksanaan tidak melalui kajian mendalam dan dapat merugikan pihak lain yang berpartisipasi dalam lelang. Sebaiknya, peraturan lelang seharusnya menetapkan pemisahan yang jelas antara peran kreditur sebagai pemohon lelang dan sebagai peserta lelang untuk memastikan bahwa proses berlangsung adil dan transparan.

Perbaikan dalam peraturan ini sangat penting untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan perlindungan hak semua pihak yang terlibat dalam proses lelang. Oleh karena itu sangat urgen untuk segera mengganti Vendu Reglement (VR) dengan peraturan hukum nasional yang lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan saat ini, terutama dalam konteks lelang eksekusi. Penggantian ini akan membantu menciptakan kerangka hukum yang lebih stabil dan jelas, serta mengurangi ketergantungan pada executive review oleh Menteri Keuangan terkait peraturan pelaksanaan lelang.

Langkah Menuju Reformasi Hukum Lelang

Untuk mewujudkan reformasi hukum lelang yang lebih baik, beberapa langkah strategis perlu diambil:

  1. Penelitian dan Kajian Mendalam

    • Sebelum membuat undang-undang baru, penting untuk melakukan penelitian dan kajian yang mendalam mengenai masalah yang ada. Ini termasuk analisis terhadap sistem lelang di negara lain, dampak hukum yang diusulkan, serta studi kasus tentang bagaimana perubahan telah mempengaruhi pelaksanaan lelang di tempat lain.
  2. Dialog Multistakeholder

    • Mengadakan dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku bisnis. Pendapat dari berbagai pihak ini sangat penting untuk mendapatkan masukan yang komprehensif dan mendorong partisipasi publik dalam proses legislasi.
  3. Sosialisasi dan Pendidikan Hukum

    • Setelah rancangan hukum disusun, penting untuk melakukan sosialisasi yang luas. Pendidikan hukum mengenai perubahan yang diusulkan harus diberikan kepada masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam lelang. Dengan pemahaman yang baik, partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap hukum baru akan meningkat.
  4. Pembangunan Infrastruktur

    • Membangun infrastruktur yang mendukung, terutama untuk lelang elektronik. Ini termasuk sistem teknologi yang aman, antarmuka pengguna yang intuitif, dan pelatihan bagi pengguna. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dalam proses lelang.
  5. Evaluasi dan Penyesuaian Berkala

    • Setelah hukum baru diterapkan, penting untuk melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitasnya. Proses ini harus melibatkan umpan balik dari pengguna sistem lelang untuk melihat apa yang berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Penyesuaian hukum harus dilakukan berdasarkan data dan pengalaman nyata di lapangan.

Kesimpulan

Penggantian Vendu Reglement dengan hukum nasional yang lebih relevan adalah langkah yang sangat diperlukan untuk menciptakan sistem lelang yang adil dan transparan di Indonesia. Dalam konteks di mana banyak debitur merasakan tekanan dan ketidakadilan akibat regulasi yang cenderung berpihak kepada kreditur, penting untuk membangun kerangka hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan.

Hukum baru tidak hanya harus mampu mengatasi permasalahan yang ada, tetapi juga memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses legislasi, mengakomodasi perkembangan teknologi, dan memastikan transparansi dalam pelaksanaan lelang, kita dapat menciptakan sistem lelang yang lebih baik. Melalui upaya kolektif ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap proses lelang akan meningkat, dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.

Dengan mengubah pendekatan kita terhadap lelang eksekusi, kita bukan hanya memperbaiki mekanisme hukum, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya keadilan sosial yang lebih luas dalam masyarakat. Mari bersama-sama mendukung reformasi ini demi masa depan yang lebih adil dan transparan.

 

Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia