MASIGNCLEAN101

Pluralisme Hukum Waris di Indonesia: Sebuah Tinjauan Menyeluruh

Pluralisme Hukum Waris di Indonesia: Sebuah Tinjauan Menyeluruh
Tuesday, October 22, 2024

Pernahkah Anda bertanya-tanya, jika terjadi warisan di keluarga Anda, hukum apa yang akan berlaku? Apakah warisan akan dibagi sesuai dengan hukum perdata, Islam, atau adat? 

Di Indonesia, jawabannya tidaklah sederhana. Pluralisme hukum waris di negara ini membuat persoalan waris menjadi kompleks dan sering kali membingungkan, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa dengan berbagai sistem hukum yang ada. 

Mari kita telaah lebih jauh untuk memahami bagaimana hukum waris di Indonesia sebenarnya bekerja dan mengapa peran notaris menjadi sangat penting dalam proses ini.


Indonesia, sebagai negara dengan beragam kebudayaan, memiliki sistem hukum yang pluralistik, termasuk dalam hukum waris. Dalam praktiknya, terdapat tiga jenis hukum waris yang berlaku, yakni hukum waris perdata, hukum waris Islam, dan hukum waris adat. Ketiga sistem ini memiliki ciri khas dan mekanisme yang berbeda dalam menentukan pembagian harta warisan.

1. Hukum Waris Perdata (BW)  
Hukum waris perdata, yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/BW), memberikan kejelasan melalui aturan-aturan tertulis yang cukup detail. Ini memudahkan pelaksanaannya, karena segala hal sudah diatur dengan rinci, mulai dari siapa yang berhak mewarisi hingga bagaimana pembagian harta tersebut dilakukan. Dalam hal ini, penerapan hukum waris perdata cenderung lebih sederhana dibandingkan sistem lainnya.

2. Hukum Waris Islam  
Di Indonesia, hukum waris Islam berlandaskan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang secara umum merujuk pada mazhab Imam Syafi'i. Sistem ini mengatur pembagian harta warisan berdasarkan ketentuan agama Islam, di mana terdapat aturan yang jelas mengenai porsi setiap ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, serta adanya konsep pembagian harta warisan secara adil dan proporsional sesuai dengan ketentuan syariah.

3. Hukum Waris Adat  
Di sisi lain, hukum waris adat merupakan sistem yang paling kompleks karena tidak tertulis dan sangat beragam sesuai dengan adat istiadat setempat. Keberagaman budaya di Indonesia membuat penerapan hukum waris adat sering kali menantang. Meski begitu, hukum waris adat dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar:
  • Patrilineal : Warisan diturunkan melalui garis ayah, seperti yang berlaku di suku Batak dan Bali.
  • Matrilineal : Warisan mengikuti garis ibu, contohnya pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
  • Parental : Warisan dibagi secara seimbang melalui garis ayah dan ibu, yang serupa dengan pembagian dalam hukum perdata.

Wewenang Notaris dalam Membuat Surat Keterangan Waris (SKW)
Wewenang notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris (SKW) sebenarnya tidak memiliki dasar hukum yang tegas kecuali untuk harta warisan yang berupa hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 111 Permen ATR/KBPN No. 16 Tahun 2021, notaris memang diberikan kewenangan membuat SKW, terutama untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah karena warisan. Namun, dalam untuk harta selain tanah, dasar hukum untuk pembuatan SKW oleh notaris tidak diatur secara eksplisit. Ini menciptakan celah hukum yang menyebabkan variasi praktik di lapangan.
Dalam praktiknya, terdapat dua bentuk akta yang sering digunakan oleh notaris dalam pembuatan SKW:
1. Brevet Akta: Bentuk akta ini tidak dikenal sama sekali baik Peraturan Jabatan Notaris (PJN) peninggalan Belanda, maupun dalam UUJN sebagai hukum nasional.
2. Partij Akta: Akta ini merupakan akta pihak yang berasal dari kesepakatan para pihak.

Sejarah Wewenang Notaris dalam Pembuatan SKW
Asal usul kewenangan notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris dapat ditelusuri ke masa Hindia Belanda. Pada masa itu, notaris diberi kewenangan untuk mengurus warisan bagi warga Eropa yang tinggal di Hindia Belanda, karena mereka tunduk pada sistem hukum perdata Eropa (BW). Awalnya, notaris hanya berperan bagi warga Eropa, sedangkan untuk penduduk pribumi dan golongan lain, hukum adat dan hukum Islam yang berlaku. Seiring waktu, kewenangan notaris diperluas untuk menangani berbagai golongan masyarakat, meskipun tanpa landasan hukum yang tegas dalam hal pembuatan SKW di luar konteks warisan tanah.

Namun, sampai saat ini, peran notaris dalam pembuatan SKW tetap dilaksanakan, terutama untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan kepastian hukum terkait hak waris mereka. Meski begitu, perbedaan dalam bentuk akta yang dibuat menunjukkan bahwa praktik ini masih membutuhkan penyempurnaan dan landasan hukum demi  kepastian hukumnya.

Kesimpulan

Dengan adanya pluralisme hukum waris di Indonesia, penting bagi masyarakat, terutama ahli waris, untuk memahami sistem hukum yang berlaku bagi mereka. Peran notaris dalam pembuatan SKW sangatlah penting, namun masih ada celah hukum yang perlu diperjelas, khususnya terkait kewenangan di luar warisan tanah. Notaris perlu hati-hati dalam memilih bentuk akta yang digunakan agar dapat memberikan kepastian hukum yang diharapkan oleh para ahli waris.


Share This :
Agus Suhariono

Tertarik mengkaji hukum di Indonesia