RUPS Daring dan Dilema Notaris: Antara Pasal dan Perkembangan Teknologi
Kemajuan teknologi informasi telah mengubah banyak hal dalam cara manusia berinteraksi — termasuk dalam dunia hukum dan bisnis. Pertemuan, transaksi, hingga pengambilan keputusan kini bisa dilakukan tanpa harus bertatap muka. Dunia korporasi pun beradaptasi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dulu identik dengan ruangan besar dan kehadiran fisik para pemegang saham, kini bisa dilakukan secara daring melalui media telekonferensi.
Namun, di balik kemudahan itu,
muncul satu pertanyaan mendasar: bagaimana kedudukan hukum RUPS yang
dilakukan secara daring, terutama bila dituangkan dalam akta notaris?
Dari Tatap Muka ke Layar Daring
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebenarnya sudah cukup progresif. Pasal 77
membuka ruang bagi penyelenggaraan RUPS melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana elektronik lain, asalkan para peserta rapat bisa saling
melihat, mendengar, dan berpartisipasi secara langsung.
Ketentuan ini menjadi bentuk
pengakuan hukum terhadap transformasi digital. Dunia bisnis tidak lagi
terbatasi oleh ruang fisik. Pemegang saham bisa hadir dari mana saja, bahkan
dari luar negeri, selama bisa tersambung secara daring.
Namun, di sinilah muncul persoalan
klasik dalam hukum: ketika satu undang-undang sudah maju, sementara
undang-undang lain belum menyesuaikan diri.
Dalam konteks RUPS daring,
benturannya terjadi antara UUPT dan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN).
Benturan
Dua Dunia: UUPT vs UUJN
Secara sederhana, UUPT mengizinkan
RUPS dilakukan lewat media digital. Tapi UUJN, sebagai payung hukum bagi
notaris, masih menuntut prosedur konvensional: semua pihak hadir di hadapan
notaris, akta dibacakan di tempat yang sama, dan ditandatangani saat itu juga
oleh penghadap, saksi, serta notaris.
Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN
menegaskan, “Notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.”
Artinya, UUJN masih berasumsi
bahwa “hadapan” berarti kehadiran fisik.
Nah, bagaimana jika rapat dilakukan
melalui Zoom, dan notaris ikut serta secara daring? Secara logika, notaris
memang bisa menyaksikan seluruh jalannya rapat, melihat peserta, bahkan
memantau tanda tangan digital. Tapi secara hukum, notaris belum dianggap “hadir
secara fisik”.
Akibatnya, akta yang dibuat atas
dasar RUPS daring dianggap tidak memenuhi unsur formil dalam UUJN.
Dampaknya cukup serius: akta itu hanya punya kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan.
Dengan kata lain, teknologi boleh
maju, tapi hukum belum tentu ikut berlari.
Akta Berita Acara vs Akta Pernyataan
Dalam praktiknya, risalah atau hasil
RUPS bisa dituangkan ke dalam dua jenis akta notaris:
- Akta Berita Acara RUPS, yaitu akta yang dibuat langsung oleh notaris yang
hadir menyaksikan jalannya rapat (akta relaas).
- Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR), yaitu akta yang dibuat berdasarkan pernyataan pihak
yang datang ke notaris setelah RUPS selesai (akta partij).
Untuk RUPS yang diselenggarakan
secara konvensional, dua bentuk ini bisa digunakan secara sah. Namun untuk RUPS
daring, posisi notaris menjadi serba sulit.
Jika ia hadir secara daring, maka
secara teknis memang ikut menyaksikan jalannya rapat, tapi secara yuridis ia
tidak hadir “di tempat yang sama” dengan para peserta.
Jika ia hanya membuat akta
berdasarkan laporan setelah RUPS selesai (model PKR), maka akta itu tidak lagi
menggambarkan peristiwa yang disaksikan langsung oleh notaris, melainkan
sekadar pernyataan para penghadap.
Kondisi inilah yang menimbulkan disharmoni
hukum: UUPT mengizinkan RUPS daring, tetapi UUJN belum memberi ruang bagi
notaris untuk menyesuaikan perannya dalam konteks digital.
Cyber
Notary: Antara Ide dan Kenyataan
Sebenarnya, gagasan cyber notary
sudah lama dibicarakan di kalangan akademisi dan praktisi. Istilah ini merujuk
pada penggunaan teknologi informasi dalam pelaksanaan tugas kenotariatan, mulai
dari pembacaan akta hingga penandatanganan secara elektronik.
Namun, hingga kini, konsep tersebut
masih sebatas wacana. UUJN hasil perubahan tahun 2014 memang membuka ruang bagi
notaris untuk melakukan “pembacaan akta secara elektronik”, tetapi tidak
diikuti dengan aturan teknis yang jelas.
Masalah utama bukan pada kemampuan
teknologinya, melainkan kepastian hukum atas keabsahan akta yang dibuat
secara daring.
Apakah tanda tangan digital bisa
dianggap sah?
Apakah notaris dianggap “hadir” jika hanya terlihat lewat layar?
Dan siapa yang menjamin keaslian identitas para pihak dalam ruang digital?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
harus dijawab melalui pembaruan hukum.
Tanda Tangan Elektronik dan Sertifikasi Digital
Sebagai pijakan, kita sudah punya
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengakui tanda
tangan elektronik sebagai alat autentikasi yang sah.
Selama memenuhi syarat—antara lain
data pembuat tanda tangan hanya dikuasai oleh penandatangan dan setiap
perubahan dapat terdeteksi—maka tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum
yang sama dengan tanda tangan basah.
Dalam praktik internasional,
keabsahan tanda tangan digital ini dijamin oleh Certification Authority (CA),
yaitu lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat elektronik untuk menjamin
identitas pengguna.
Artinya, secara teknologi dan
kerangka hukum, sebenarnya sudah ada jalan bagi notaris untuk melakukan
pembacaan dan penandatanganan akta secara elektronik. Yang belum ada adalah sinkronisasi
antar-undang-undang agar praktik tersebut diakui secara otentik dalam
konteks kenotariatan.
Dampak
bagi Profesi Notaris
Notaris, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, berwenang membuat akta otentik atas segala
perbuatan hukum yang diwajibkan oleh undang-undang atau dikehendaki oleh
pihak-pihak yang berkepentingan.
Dengan kewenangan sebesar itu,
posisi notaris menjadi sangat strategis dalam menjamin kepastian hukum. Namun,
ketika aturan yang mengikatnya tidak mengikuti perkembangan zaman, notaris
justru bisa terjebak pada pelanggaran administratif bahkan etik.
Bayangkan, seorang notaris yang
membantu menyusun akta RUPS daring dengan itikad baik bisa saja dianggap
melanggar Pasal 16 UUJN karena tidak “membacakan akta di hadapan penghadap
secara fisik”.
Padahal, dalam konteks teknologi
modern, “kehadiran” sudah tidak lagi harus berarti berada di ruangan yang sama.
Mendesak: Reformasi UU Jabatan Notaris
Hukum tidak boleh ketinggalan dari
masyarakat yang diaturnya. Di sinilah pentingnya revisi UUJN agar dapat
mengakomodasi praktik digital seperti RUPS daring.
Perubahan itu setidaknya mencakup
tiga hal pokok:
- Perluasan makna “hadapan notaris”, dari kehadiran fisik menjadi kehadiran yang dapat
diverifikasi secara elektronik—misalnya melalui video konferensi.
- Pengakuan atas tanda tangan digital, yang diverifikasi oleh penyelenggara sertifikasi
elektronik (CA) resmi.
- Penambahan ketentuan tentang saksi ahli IT, yang membantu menjamin autentikasi proses daring
sebagaimana penerjemah resmi membantu notaris dalam akta berbahasa asing.
Dengan langkah itu, profesi notaris
tidak hanya akan selaras dengan perkembangan teknologi, tapi juga tetap menjaga
prinsip dasar akta otentik: keabsahan, kepastian, dan perlindungan hukum.
Reformasi Hukum: Dari Teks ke Realitas
Kita bisa belajar dari proses
harmonisasi hukum di bidang lain. Misalnya, dalam hukum acara peradilan tata
usaha negara, pernah dilakukan perluasan tafsir terhadap makna akta otentik
agar sesuai dengan praktik administrasi modern.
Langkah serupa bisa diterapkan dalam
kenotariatan. Penafsiran “hadapan” tidak harus berarti tatap muka fisik,
melainkan bisa dimaknai sebagai kehadiran interaktif yang memungkinkan
notaris, penghadap, dan saksi berkomunikasi secara langsung melalui media
digital yang aman dan tervalidasi.
Perluasan makna ini bukan bentuk
pelonggaran, melainkan penyesuaian hukum dengan realitas sosial. Karena
kalau hukum tidak bergerak, justru akan ditinggalkan oleh praktik.
Notaris di Era Digital: Antara Peluang dan Kehati-hatian
Transformasi digital membuka peluang
besar bagi efisiensi dan transparansi layanan hukum. Tapi di sisi lain, tanpa
dasar hukum yang jelas, notaris bisa terjebak dalam area abu-abu antara inovasi
dan pelanggaran.
Idealnya, notaris tetap menjadi
garda depan dalam menjamin keabsahan hukum di ruang digital. Dengan dukungan
teknologi seperti enkripsi data, sertifikasi elektronik, dan perekaman video,
notaris dapat menjalankan fungsi pengawasan dan pembuktian secara lebih modern.
Namun untuk itu, negara harus
hadir lebih dulu — bukan hanya dalam bentuk wacana, tapi dalam bentuk
regulasi yang pasti.
Revisi UUJN menjadi kebutuhan
mendesak agar profesi notaris tidak terjebak pada sistem hukum yang tertinggal.
Sebab kalau tidak, hukum bisa menjadi penghambat inovasi, bukan pengarah
kemajuan.
Penutup: Menyatukan Dua Dunia
RUPS daring hanyalah satu contoh
dari perubahan besar yang sedang berlangsung di dunia hukum dan bisnis. Tapi ia
membuka mata kita bahwa transformasi digital menuntut penyesuaian paradigma
hukum, bukan sekadar adaptasi teknis.
Bagi notaris, tantangannya bukan
hanya memahami teknologi, tapi juga memastikan bahwa setiap inovasi tetap
berlandaskan nilai dasar hukum: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Jika kehadiran bisa dilakukan lewat
layar, jika tanda tangan bisa diverifikasi secara digital, dan jika semua pihak
terlindungi secara hukum, maka tidak ada alasan bagi UU Jabatan Notaris untuk
terus menutup diri dari kenyataan itu.
Karena pada akhirnya, hukum bukan
hanya soal teks, tapi juga tentang bagaimana ia mampu menjawab kebutuhan zaman.

Post a Comment for "RUPS Daring dan Dilema Notaris: Antara Pasal dan Perkembangan Teknologi"
Post a Comment